Bisnis.com, JAKARTA - Kudeta pemerintahan oleh pihak militer yang terjadi di Myanmar, Senin (1/2/2021), diyakini tidak mungkin terjadi di Indonesia.
Hal itu ditegaskan pengamat politik Adi Prayitno. "Tak mungkin ada kudeta militer. Di Indonesia demokrasinya sudah terkonsolidasi. Elite, pers, dan civil society kuat," kata Adi Prayitno di Jakarta, Selasa (2/2/2021).
Keyakinan itu muncul berdasarkan beberapa hal, jelasnya, salah satunya tentu karena demokrasi di Indonesia berjalan sangat baik.
Dia mengatakan praktik penggulingan kekuasaan juga pernah terjadi di Indonesia. Kendati begitu, jelasnya, itu sudah cukup lama, puluhan tahun lalu.
Adi Prayitno yakin kudeta termasuk seperti sekarang di Myanmar tidak akan terjadi lagi di Indonesia, tetapi tetap perlu diantisipasi. Tentara atau aparat harus dijauhkan dari urusan politik.
"Biarkan mereka bekerja secara profesional, mengurus keamanan dan ketertiban sosial. Tak usah digoda ke politik," kata Adi.
Adi menyebutkan ada hal lebih penting yang harus negara ini pikirkan, yakni krisis kesehatan dan ekonomi. "Semua pihak mesti solid, jaga sikap, dan setop pertikaian," kata Adi.
Pengamat politik Ujang Komarudin juga mengatakan hal serupa bahwa di Indonesia tidak ada tradisi kudeta militer. Jika melihat kondisi politik saat ini, kudeta militer di Indonesia tak akan terjadi. "TNI masih loyal terhadap Presiden. Namun, segala kemungkinan harus tetap diantisipasi," kata Ujang.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo perlu memilih sosok yang loyal dan dekat untuk posisi Panglima TNI. Ujang juga mengajak semua pihak untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
"Bergotong royong menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Disiplin menjaga protokol kesehatan agar tak banyak lagi anak bangsa yang jadi korban Covid-19," ujarnya.
Seperti diketahui, pada 1 Februari, pasukan militer Myanmar menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan sejumlah tokoh di partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa.
Selanjutnya, militer mengambil alih kendali negara. Kudeta terjadi setelah ketegangan meningkat antara pemerintah sipil Suu Kyi dan militer terkait dengan sengketa hasil pemilihan umum.
Sejak 2011, Myanmar bergerak menuju pemerintahan demokratis setelah berada di bawah rezim militer. Aung San Suu Kyi menjadi tokoh demokrasi di negara itu.
Pada tahun 2015, Suu Kyi dan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) terpilih memimpin negara melalui pemungutan suara. Pada tanggal 1 Februari, Suu Kyi seharusnya melanjutkan masa jabatan periode kedua.
Namun, militer mengambil alih pemerintahan dengan tuduhan adanya kecurangan dalam pemungutan suara.