Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah perlu mempertimbangkan efektivitas dari kebijakan vaksinasi mandiri Covid-19 dengan meninjau baik sisi permintaan maupun pasokan vaksin.
Menurut Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta, dari sisi permintaan, hal yang penting untuk diperhatikan adalah kesiapan pihak swasta dalam mengeluarkan anggaran untuk karyawannya.
Apabila pemerintah akhirnya mengharuskan vaksin mandiri ditanggung perusahaan, tentu hal ini akan memberatkan usaha mikro yang kemungkinan besar usahanya terdampak pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2017-2018, terdapat 107 juta tenaga kerja yang bekerja pada usaha mikro. Selain itu, jika perusahaan diharapkan mencari sendiri pasokan vaksin maka kemungkinan besar hanya usaha besar yang mampu melakukannya.
Namun, karyawan perusahaan besar kurang dari 4 juta orang sehingga kontribusinya terhadap target vaksinasi juga tidak terlalu signifikan.
"Di sinilah efektivitas vaksin mandiri untuk karyawan perlu diperhitungkan. Kalau vaksin kemudian diizinkan untuk dijual ke publik dengan harga yang ditetapkan pemerintah, ini bisa terlihat seperti pemerintah ingkar janji mengenai vaksin gratis. Selain itu, penentuan harga vaksin pun bisa membuka kontroversi baru," katanya melalui keterangan resmi yang diterima oleh Bisnis pada Jumat (29/1/2021).
Lebih lanjut, Andree menjelaskan survei penerimaan vaksin Covid-19 di Indonesia yang dilakukan oleh WHO dan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hanya sekitar 22 persen masyarakat Indonesia yang bersedia membayar vaksin dan preferensi harganya pun masih di bawah harga kebanyakan vaksin yang ada sekarang.
Mematok harga penjualan vaksin untuk umum bisa memperkuat persepsi kesenjangan antara yang mampu dan tidak mampu.
"Jadi, kalau kebijakan vaksin yang awal mulanya berbayar, kemudian digratiskan, dan sekarang balik lagi ke berbayar, perlu perencanaan yang sangat matang supaya tidak timbul kesan bahwa pemerintah gamang dan malah memperluas resistensi masyarakat terhadap vaksin,” jelasnya.
Dari sisi pasokan, perlu diperhatikan pula bahwa pasokan vaksin dalam tahap awal ini juga masih belum mulus. Antrian pemesanan vaksin Covid-19 cukup panjang. Sementara itu, kebanyakan produsen masih dalam proses meningkatkan kapasitas produksinya. Saat ini pemerintah sudah memesan vaksin untuk 164 juta jiwa dengan opsi menambah 167 juta lagi dari berbagai produsen.
Andree mengungkapkan bahwa pesanan yang sekarang terkonfirmasi sebenarnya masih kurang dari target vaksinasi, yaitu 181 juta. Jika adanya vaksin mandiri menyebabkan pemerintah ‘keluar dari antrian’ dengan membatalkan pesanan atau tidak menjalankan opsi, maka tidak akan mudah mencari pasokan baru jika terjadi kekurangan.
Nantinya, apabila memang vaksin mandiri diperbolehkan, pemerintah sebaiknya tetap mempertahankan pesanan vaksin yang sudah ada demi memastikan adanya pasokan. Dengan kata lain, vaksin mandiri sebaiknya menjadi kapasitas tambahan, bukan pengganti vaksin gratis.
Dampak positif melibatkan swasta dalam vaksinasi mandiri adalah bisa mengurangi beban APBN sambil melipatgandakan jangkauan vaksinasi. Jika distribusi tadinya hanya melibatkan puskesmas, rumah sakit pemerintah dan BUMN, lanjutnya, maka penambahan kapasitas swasta tentu bisa memperluas dan mempercepat terlaksananya vaksinasi.
Semakin banyak yang divaksinasi dan secepat mungkin pelaksanaannya, maka jumlah pasien yang perlu perawatan rumah sakit akan menurun. Paling tidak, ini akan mengurangi beban biaya pengobatan Covid-19 yang ditanggung oleh Kementerian Kesehatan.
“Akan tetapi, sebaiknya pemerintah jangan mencoba menghemat dengan mengurangi pemesanan vaksin, kalaupun vaksin mandiri diizinkan. Pertimbangannya seperti yang tadi sudah dibahas adalah belum pastinya permintaan (demand) vaksin mandiri dan pasokan (supply) vaksin global,” tutup Andree.