Bisnis.com, JAKARTA - Polri mendapat pujian dari Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid terkait penanganan kasus dugaan rasisme yang menimpa Natalius Pigai.
Hidayat mengapresiasi konsep Polri Presisi atau prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan yang disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sudah dipraktikkan dalam kasus ujaran rasisme yang diduga dilakukan Ambroncius terhadap Natalius Pigai.
"Bagus, konsep Presisi yang menjadi komitmen Kapolri sudah mulai dilaksanakan dalam kasus ujaran kebencian dan rasisme terhadap Saudara Natalius Pigai, tokoh Papua, mantan anggota Komnas HAM," kata Hidayat Nur Wahid (HNW) dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (27/1/2021).
HNW menuturkan, penetapan tersangka terhadap Ambroncius Nababan selaku pimpinan relawan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dapat menjadi tonggak kembalinya kepercayaan masyarakat kepada netralitas dan profesionalitas Polri.
Menurut HNW sebelumnya sering ada anggapan di masyarakat bahwa relawan Jokowi bebas menghina atau berperilaku rasis, karena merasa kebal hukum, tidak diproses hukum oleh Kepolisian.
"Padahal Presiden Jokowi berkali-kali menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, dan hukum harus diberlakukan dengan benar," ujarnya.
Baca Juga
HNW berharap langkah awal yang baik dengan dilaksanakannya janji "Presisi" oleh Kapolri diapresiasi dan didukung bersama untuk membuktikan bahwa hukum ditegakkan secara adil, tanpa tebang pilih.
Menurut dia sangat penting penindakan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan tersebut terhadap Natalius Pigai, sebelum dan sesudah yang dilakukan Ambroncius Nababan, bahkan juga terhadap kasus rasisme lainnya, dan kasus hukum lainnya.
"DPP KNPI misalnya melaporkan Permadi Arya (Abu Janda), juga DPP Partai Demokrat minta Polisi tangkap Yusuf Leonard Henuk karena kasus serupa. Sebelumnya warga juga banyak yang mengadukan kasus rasisme terhadap Anies Baswedan maupun Habib Rizieq Shihab," kata HNW.
Politisi PKS itu mengatakan sebagai wujud keseriusan pelaksanaan kebijakan "Presisi" secara konsisten sudah semestinya berbagai laporan masyarakat juga diproses secara hukum.
Apalagi, lanjut HNW, instrumen hukum di Indonesia sudah sangat memadai untuk mengusut segala ujaran rasisme tersebut, selain ada KUHP, juga sudah memiliki UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Seharusnya menurut Hidayat, penindakan hukum bukan hanya mencakup ujaran yang menghina ras dan etnis, tetapi juga kelompok orang, misalnya dalam kasus penghinaan santri dan pesantren di Tasikmalaya.
"Sampai saat ini, kasus itu juga masih belum jelas penanganannya. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi Kapolri baru untuk segera menegakkan hukum, agar masyarakat percaya bahwa Polri benar-benar akan bertugas melindungi seluruh masyarakat Indonesia," katanya.
HNW mengatakan, dengan dipraktikkannya "Presisi" untuk kasus rasisme, masyarakat menaruh harapan positif agar komitmen-komitmen Kapolri baru yang disampaikan di depan Komisi III DPR benar-benar dilaksanakan.
Komitmen-komitmen tersebut menurut dia seperti tidak menjadikan Kepolisian sebagai alat kekuasaan, untuk benar-benar berlaku adil dan tegas bahkan bila ada oknum Polisi yang berbuat salah akan ditindak.
"Juga untuk meniadakan apa yang disebut sebagai upeti untuk atasan, tidak akan adanya kriminalisasi ulama, serta akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM soal tewasnya laskar FPI. Termasuk janji akan lebih manusiawi dan profesional untuk menjaga marwah dan kedaulatan NKRI," ujarnya.