Bisnis.com, JAKARTA - Bagi pasien dan anggota keluarga yang terpapar Covid-19, kesembuhan menjadi hal yang sangat dinantikan.
Pada pasien dengan kondisi ringan atau tanpa gejala saja, Covid-19 sudah meninggalkan kekhawatiran yang tidak sedikit.
Kewajiban isolasi, mengurung diri dari lingkungan, menjadi derita tersendiri selain kondisi positif Covid yang dialami pasien.
Terlebih pada pasien yang harus menjalani isolasi di rumah sakit dan tidak bisa berkomunikasi dengan anggota keluarga.
Padahal, di sisi lain, pasien pun membutuhkan dorongan motivasi dari lingkungan keluarga dan handai taulan.
Ada kasus yang menunjukkan bahwa pada kondisi tertentu, akibat penurunan saturasi oksigen dalam darah, kesadaran pasien bisa tiba-tiba seperti anjlok.
Baca Juga
"Rasanya tidak karuan, gak jelas," begitu tutur seorang pasien Covid-19 yang sempat menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Kota Bandung.
"Beruntung" pasien ini dirawat bersama istrinya yang juga dinyatakan positif Covid-19. Jadi, sang istri, yang kondisinya lebih fit, bisa memonitor kondisi suaminya. Selain itu, sang istri pun menjadi "penghubung" setiap keluarga menanyakan kondisi suaminya.
Dalam kondisi kesadaran tidak karuan itu, dorongan eksternal diperlukan. Pasien tersebut, misalnya, ketika sudah bisa berkomunikasi dengan keluarga, diingatkan untuk segera sembuh dan ditunggu Ibunya di rumah.
Sedikit banyak, hal itu memicu sang pasien untuk kembali fokus. Lambat laun, kondisi pasien ini membaik, nafas yang semula sesak akhirnya menjadi ringan kembali. Akhirnya, pasien ini pun diperbolehkan pulang.
Keluarga yang sudah menyiapkan jalan untuk bisa mendapatkan plasma konvalesen jika diperlukan, tak perlu mendengar kabar sang pasien harus transfusi.
Pada kasus lain, seorang dokter yang dinyatakan positif Covid-19 dan memiliki komorbid diabetes sempat berada dalam situasi putus asa.
Dalam kondisi, yang digambarkannya sebagai hampir menyerah tersebut, sang dokter mendapatkan dorongan eksternal berupa kiriman doa-doa dari keluarga dan kerabat serta dari anak-anak santri TPQ.
Dokter Sriyanto Sp B, dokter bedah di Rumah Sakit Wonogiri, mengaku iringan doa dari seluruh kerabat dan sahabat menjadi dukungan untuk bangkit.
"Dukungan dari teman-teman di grup WhatsApp tiada henti mendoakan. Sungguh doa mereka sangat berarti serasa guyuran air di gurun Sahara. Ada yang mendoakan melalui telepon, Facebook, dan juga yang mendoakan dalam diam," ujarnya.
Selengkapnya, silakan baca: Kisah Dokter Bedah Terinfeksi Covid-19: Berjuang antara Hidup dan Mati
Kiriman video santri-santri TPQ dari berbagai daerah yang mengirimkan doa menambah kuat dorongan untuk bangkit.
"Mulut-mulut kecil itu meminta saya untuk tetap semangat agar bisa bertemu mereka kembali untuk mengobati orang lagi. Tak terasa air mata menetes," ujarnya.
Semua menjadi pelajaran berharga bagi Sriyanto. Selain itu, ia fokus untuk menjalani pengobatan medis.
"Ketika kondisi kritis, tetap percayakan pengobatan kepada medis. Bahwa obat medis sudah teruji. Sedangkan pengobatan alternatif baru sebatas coba-coba. Kita harus tetap rasional," ujarnya.
"Saya hampir menyerah kalah. Beberapa sahabat juga berpikir demikian, karena risiko orang yang diabetes terkena Covid-19 biasanya berujung kematian," tuturnya.
Terapi Plasma
Pada malam ketujuh di rumah sakit, di balik kondisi yang menyiksa, Sriyanto justru merasa mendapat mukjizat.
"Saya mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Beberapa hari sebelumnya saya memang memesan dua kantong plasma. Dengan meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati Covid-19, malam itu saya mendapat injeksi 1 kantong plasma," ujarnya.
Di samping injeksi plasma, ia juga minta disuntik tosilizumab.
"Saya mengutamakan pengobatan medis daripada segala saran tak jelas tentang pengobatan alternatif. Saat kondisi kritis, saya berusaha berpikir logis karena pengobatan medis sudah teruji. Itulah mengapa saya ngotot minta suntikan tosilizumab yang harganya mencapai Rp8 juta," urainya.
Ia bersyukur bisa mendapatkan 1 tosilizumab yang sangat terasa khasiatnya dan bekerja dengan baik.
"Hanya selang 6 jam pascasuntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustrasi," ujarnya.
Hari kedelapan, Sriyanto kembali mendapat injeksi plasma. Setelah mendapat injeksi plasma untuk kedua kali, ia pun tertidur selama 12 jam.
Saat itu, ia tertidur dengan alat EKG atau elektrokardiogram yang mengukur dan merekam aktivitas listrik jantung masih menempel di badan. Oksigen 5 liter membantu pernapasan dan infus 2 jalur menempel di tubuh.
Sriyanto pun tidur seharian. Hasilnya, begitu terbangun, badan terasa lebih ringan dan segar. "Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun," ujarnya.
Hari kesembilan, Sriyanto tak lagi merasakan demam. Suhu tubuh normal meskipun ia tidak minum obat penurun panas.
"Batuk berkurang hingga 75 persen. Badan lebih ringan, hati juga bahagia. Terlewati sudah masa-masa kritis. Terlewati sudah pertarungan antara hidup dan mati." tutur Sriyanto.
Hari itu ia tak perlu lagi merasa frustrasi karena tak bisa mengunyah nasi. "Di hari ini saya sudah bisa merasakan empuknya nasi, tidak keras lagi seperti kemarin," tuturnya.
Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan tosilizumab dan plasma. Menurut pengalaman dirinya, acterma dan plasma cocok mengobati pasien Covid-19, bahkan yang memiliki komorbid diabates.
Dua kasus di atas menjadi contoh pentingnya dukungan keluarga dan lingkungan bagi pasien Covid-19. Selain itu, upaya terapi dengan pendekatan medis melalui plasma darah bisa menjadi alternatif.
Gerakan Donor Plasma Konvalesen
Terkait donor plasma, pemerintah telah mencanangkan Gerakan Nasional Donor Plasma Konvalesen.
Pada 18 Januari 2021, Wakil Presiden K.H. Ma'ruf Amin secara resmi mencanangkan Gerakan Nasional Donor Plasma Konvalesen tersebut.
Menurut situs covid19.go.id, transfusi plasma konvalesen merupakan salah satu terapi tambahan untuk mengobati pasien Covid-19 bergejala berat dan kritis.
Hal ini merupakan upaya meningkatkan angka kesembuhan dan menekan angka kematian pada pasien Covid-19.
Gerakan ini membutuhkan kerja sama dan rasa solidaritas yang tinggi dari masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya tersebut.
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla menyatakan siap untuk melayani para pendonor plasma di berbagai daerah.
PMI siap di 31 Unit Donor Darah (UDD) dan mempunyai peralatan untuk mengelola plasma ini. yang tersebar di seluruh Inonesia
Gerakan ini diharapkan dapat mendorong para penyintas Covid-19 yang memenuhi persayaratan untuk siap sedia secara sukarela menjadi pendonor plasma konvalesen, untuk bersama mengakhiri pandemi Covid-19.
Jadi, Mari! Kita sama-sama memberi support bagi para pasien Covid-19 sambil tetap menjalankan adaptasi kebiasaan baru dengan selalu menerapkan 3 M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun).
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #jagajarakhindarikerumunan #cucitangan #cucitangandengansabun