Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta memperbaiki tata laksana teknis karantina bagi warga negara Indonesia (WNI) pelaku perjalanan dari luar negeri.
Hal itu disampaikan Anggota Komisi Kesehatan DPR Kurniasih Mufidayati. Dia menyatakan, fakta di lapangan memperlihatkan pemberian fasilitas karantina dan tes usap PCR gratis yang baru tiba di Bandara Soekarno Hatta masih belum tepat.
Menurutnya, perlu ada dua kali tes PCR dalam rentang 4 sampai 5 hari sampai dengan keluarnya surat izin pulang ke rumah bagi WNI yang baru melakukan perjalanan ke luar negeri. Selain itu, dia juga menyoroti terkait tes swab gratis kepada WNI yang baru kembali ke Tanah Air.
"Sudah ada dalam Keputusan Ketua Satgas Penanganan Covid-19 No 6 Tahun 2001 siapa saja yang berhak mendapatkan fasilitas karantina gratis yakni Pekerja Migran Indonesia, pelajar atau WNI yang secara ekonomi tidak mampu dibuktikan dengan Surat Pernyataan Tidak Mampu (SPTM)," kata Mufida dalam keterangan tertulis, Senin (25/1/2021).
Politikus PKS itu mengatakan telah mendatangi tempat karantina mandiri bagi WNI di wilayah Tangerang, Banten. Menurut dia banyak WNI yang langsung diberikan formulir STPM untuk diisi dan ditandatangani.
“Kenapa tidak sejak awal disampaikan secara terbuka tentang isi kebijakan tersebut? Ini aneh. Tiba-tiba penumpang diminta tanda tangan pernyataan tidak mampu. Kami menerima informasi ini dan langsung konfirmasi ke lapangan," ujarnya.
Baca Juga
Dia mengatakan temuan tersebut menunjukkan tidak tepatnya penggunaan dana untuk karantina dan tidak adilnya implementasi kebijakan. Sebab, bila semua penumpang diberikan STPM berarti semua WNI yang pulang ke tanah air dianggap tidak mampu dan diberikan subsidi biaya karantina mandiri.
Dia mengatakan temuan lain di lapangan memperlihatkan keanehan PCR yang harus dilakukan sebanyak dua kali pada penumpang yang menjalani karantina.
Saat sebelum terbang ke Indonesia, penumpang WNI sudah melakukan tes PCR sebagai syarat naik pesawat. Setiba di bandara, harus tes PCR lagi di lokasi karantina. Selang tiga hari, sebelum pulang ke rumah, harus PCR lagi.
"Bagaimana mungkin seseorang, harus menjalani tiga kali PCR dalam hitungan sepekan, sangat tidak logis dan menurut saya berpotensi iritasi pada hidung. Belum lagi aspek psikologi dan biaya yang harus ditanggung oleh APBN maupun pribadi penumpang. Ini sangat aneh. Harus diperbaiki kebijakan ini," ujar Mufida.
Mufida juga meminta agar koordinasi antar instansi benar-benar diperbaiki. Dia sudah mengingatkan pada berbagai kesempatan tentang terlalu banyaknya stakeholder dan kuatnya ego sektoral dalam mitigasi pandemi Covid-19.
"Ini sudah disampaikan berkali-kali. Persoalan birokrasi kita adalah tidak efisien dalam manajemen kerja dan penggunaan anggaran sehingga sering terjadi saling lempar tanggung jawab,” ungkapnya.