Bisnis.com, JAKARTA – Efikasi vaksin Covid-19 dari Sinovac di Indonesia mendapat sorotan dari beberapa pihak karena hanya sebesar 65,3 persen. Namun, menurut ahli, jumlah tersebut sudah termasuk awal yang baik.
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Zullies Ikawati mengatakan ketika diumumkan hasil efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3 persen, mungkin masih ada banyak masyarakat kecewa, karena nilainya rendah.
“Tapi menurut saya it is a good start. Apalagi, batasan minimal FDA, WHO dan EMA pun untuk persetujuan suatu vaksin adalah 50 persen. Artinya, secara epidemiologi, menurunkan kejadian infeksi sebesar 50 persen itu sudah sangat berarti dan menyelamatkan hidup banyak orang,” kata Zullies dalam keterangan resmi, Selasa (12/1/2021).
Apalagi, disampaikan pula bahwa vaksin Sinovac memiliki imunogenisitas yang tinggi sampai 99,23 persen pada 3 bulan pertama, yang artinya dapat memicu antibodi pada subyek yang mendapat vaksin.
“Tentu kita masih harus menunggu efektivitas vaksin setelah dipakai di masyarakat, dan perlu diingat bahwa karena ini baru EUA yang berasal dari interim report, pengamatan terhadap efikasi dan safety masih tetap dilakukan sampai 6 bulan ke depan untuk mendapatkan full approval,” jelasnya.
Zullies berharap vaksin ini bisa memberikan manfaat. Dia juga menegaskan sebagai tenaga kesehatan dirinya siap divaksin.
Baca Juga
“Sekali lagi, Bismillah, manusia berusaha, Tuhan yang menentukan. Kepada-Nya kita pasrahkan. Saya siap divaksinasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Zullies mengungkapkan bahwa efikasi atau kemanjuran 65,3 persen dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3 persen kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo). Angka tersebut didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol.
Misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung, yang melibatkan 1.600 orang, terdapat 800 subyek yang menerima vaksin, dan 800 subyek yang mendapatkan placebo [vaksin kosong].
Zullies menjelaskan, jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi [3,25 persen], sedangkan dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena Covid (9,4 persen), maka efikasi dari vaksin adalah (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100 persen= 65,3 persen.
“Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak,” ujarnya.
Efikasi, lanjut Zullies, akan dipengaruhi dari karakteristik subyek ujinya. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat.
“Jadi misalnya pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok placebo bertambah menjadi 120 yang terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78,3 persen,” jelasnya.
Dia menuturkan bahwa uji klinik di Brasil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga Kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi, sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.
“Jika subyek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yang terinfeksi, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah,” jelas Zullies.
Dia melanjutkan, angka efikasi bukan harga mati, dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor ketika uji klinik dilakukan.
Selain itu, jumlah subyek uji dan lama pengamatan juga dapat mempengaruhi hasil. Jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun, dia mengatakan sangat mungkin menghasilkan angka efikasi vaksin yang berbeda.
Mengenai dampak dari efikasi sebesar 65,3 persen terhadap kasus Covid-19, Zullies mengungkapkan bahwa penurunan kejadian infeksi sekitar 65 persen secara populasi tentu akan sangat bermakna dan memiliki dampak ikutan yang panjang.