Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah kembali menghapus cuti bersama pengganti hari raya Idulfitri pada penghujung tahun 2020. Faktor kesehatan di tengah pandemi menjadi alasan utama.
Keputusan Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan ini bukan tanpa alasan. Awalnya, cuti bersama Idulfitri dipindah ke akhir tahun 2020 karena saat itu penyebaran Covid-19 di Indonesia tengah meningkat pesat.
Pemerintah tidak mau, pulang kampung yang menjadi tradisi masyarakat Indonesia, malah membuat penularan semakin tinggi. Sebagai gantinya, cuti bersama digeser ke akhir tahun. Jika dihitung, total libur Natal 2020 dan tahun baru 2021 mencapai 11 hari.
Libur panjang akhir tahun di sisi lain diharapkan mampu mendongkrak ekonomi yang tengah lesu. Pariwisata kembali bergeliat sehingga membuat transaksi jual-beli meningkat.
Alih-alih menggunakan strategi gas-rem untuk atasi krisis ekonomi dan kesehatan, nyatanya hingga kini tidak ada tanda-tanda penurunan penyebaran Covid-19.
Sementara libur panjang Oktober lalu tidak menunjukkan perbaikan berarti pada ekonomi atau konsumsi. Yang terjadi kasus positif malah bertambah.
Kementerian Keuangan mencatat libur Oktober malah berakibat pada konsumsi listrik di sektor bisnis dan manufaktur anjlok karena tidak ada kegiatan. Tentu berdampak pada produksi yang turun.
Penyebaran yang terus meluas dikarenakan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan melonggar. Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Doni Monardo mengatakan bahwa terjadi penurunan dalam menekan pandemi.
Awal November, Indonesia berada di posisi yang baik. Setelah libur panjang pada Oktober lalu kasus aktif positif Covid-19 berada di angka 11,8 persen. Pada minggu ketiga Desember meningkat menjadi sekitar 15 persen.
Dilihat dari kedisiplinan terhadap protokol kesehatan, setiap daerah mengalami penurunan. Awal November lalu, akumulasi per minggu berada di angka 86,17 persen. Angka tersebut terus jatuh hingga 80,34 persen pada 24 Desember lalu
“Kita sadari pemerintah tidak bisa kerja sendirian. Perlu kolaborasi dan gerakan masing-masing daerah. Saya yakin kalau kita kerja keras dengan yakin dan tulus, itu bisa,” katanya melalui diskusi secara virtual.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menjelaskan bahwa selama beberapa pekan terakhir, zona merah cenderung fluktuatif. Di sisi lain zona hijau semakin sedikit.
Awal tahun 2021 diharapkan penyebaran Covid-19 bisa ditekan. Hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya zona hijau.
“Kita sudah banyak belajar selama 10 bulan sehingga tidak ada yang tidak mungkin. Yaitu menurunkan risiko sehingga Indonesia bisa didominasi oleh zona yang lebih aman,” jelasnya.
Dari sisi ekonomi, Covid-19 membuat konsumsi lesu. Indonesia mau tidak mau mengalami resesi. Meski begitu, pemerintah meyakini titik terendah kontraksi ekonomi sudah terlewati, yaitu pada triwulan II/2020. Saat itu pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) minus 5,32 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Periode selanjutnya meski masih negatif, yakni minus 3,49 persen, ada perbaikan. Dilihat dari tiga bulanan quarter to quarter/qtq), laju ekonomi tumbuh 5,05 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan bahwa di akhir kuartal 2020 pemulihan akan terjadi.
“Pada triwulan IV/2020 kita melihat kondisi dari proxi ekonomi ada di capital market. Kalau kita lihat indeks harga saham gabungan sudah di level 6.100. Awal Januari lalu 5.400. Rupiah juga menguat di Rp14.100,” katanya.
Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 diproyeksi pemerintah sebesar minus 2,2 persen hingga minus 1,7 persen. Tahun ini, diperkirakan membaik. Antara 4,5 persen sampai 5,5 persen.
Kepala Pusat Penelitian LIPI, Agus Eko Nugroho mengatakan bahwa yang menjadi kabar baik adalah Indonesia sudah mengalami pertumbuhan negatif selama 3 kali sejak 1961. Selama itu pula Tanah Air bisa melewatinya.
Kondisi perekonomian pun diperkirakan bakal membaik pada 2021. Pertumbungan akan sangat bergantung pada vaksin Covid-19.
“Ini yang perlu menjadi perhatian pemerintah bagaimana keberadaan vaksin mempengaruhi aspek konsumsi. Jumlah vaksin yang tersedia akan dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah untuk melakukan negosiasi dengan produser,” ucapnya.
Agus menuturkan bahwa LIPI memiliki simulasi pertumbuhan produk domestik bruto pada 2021. Jika tanpa vaksin, laju ekonomi berkisar 1,57 persen sampai 2,07 persen.
Apabila vaksin tersedia sebanyak 30 persen dari kebutuhan, pertumbuhan di antara 2,99 persen sampai 3,49 persen. Ekonomi di angka 3,21 persen sampai 3,70 persen jika vaksin 50 persen.
Terakhir, pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 3,53 persen sampai 4,03 persen jika ketersediaan vaksin 80 persen.