Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini 4 Argumen Fadli Zon yang Klaim Demokrasi Indonesia Merosot

Fadli Zon menyoroti UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dengan satu draf mampu menggantikan 79 undang-undang sekaligus.
Politisi Gerindra Fadli Zon memberikan refleksi akhir tahunnya yang berjudul Konsolidasi Oligarki di Tengah Pandemimelalui akun Youtube pribadinya, Fadli Zon Official, Kamis (31/12/2020)/Yotube-Fadli Zon Official
Politisi Gerindra Fadli Zon memberikan refleksi akhir tahunnya yang berjudul Konsolidasi Oligarki di Tengah Pandemimelalui akun Youtube pribadinya, Fadli Zon Official, Kamis (31/12/2020)/Yotube-Fadli Zon Official

Argumen Ketiga dan Keempat

Kekuasaan makin terkonsentrasi di tangan presiden dan eksekutif menjadi argumen ketiga Fadli terkait kemerosotan demokrasi Indonesia di era Jokowi. Dia mencontohkan Perppu Corona 2020 yang mengubah 8 undang-undang sekaligus.

"Bayangkan dengan bekal kekuasaan Perppu atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang presiden bisa mengubah lebih dari lima undang-undang sekaligus tanpa perlu lagi persetujuan DPR," ujarnya.

Selain itu, dia menyoroti UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dengan satu draf mampu menggantikan 79 undang-undang sekaligus. Menurutnya, regulasi sapu jagad itu tak hanya telah memperbesar kekuasaan presiden dibidang legislatif, tetapi juga memperbesar kekuasaan presiden dibidang yudikatif. "Ini adalah cermin kemunduran demokrasi yang sangat kentara," tegasnya.

Argumen keempat dari Fadli Zon soal kemerosotan demokrasi di Tanah Air adalah besarnya impunitas yang dimiliki presiden. Menurutnya, amandemen Undang-Undang Dasar 45 sebenarnya telah memberikan perlindungan yang sangat besar kepada presiden, sehingga tak bisa lagi dengan mudah dijatuhkan oleh DPR.

"Namun dengan keadaan luar biasa melalui Perppu Corona, impunitas yang dimiliki pemerintah ini jadi semakin luar biasa. Presiden dan jajaran tak lagi bisa diajukan ke muka pengadilan jika ada kebijakan yang dianggap menyeleweng," jelasnya.

Selain itu, Fadli menyoroti upaya untuk memasukkan pasal terkait penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP. Padahal, pasal-pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 4 Desember 2006.

"Dijelaskan bahwa aturan tersebut diputuskan untuk dihapus karena tafsirnya yang amat rentan dengan manipulasi atau dengan kata lain bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. MK menyatakan pasal 134, pasal 136 dan pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper