Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi virus corona menyurutkan minat wisatawan untuk berlibur. Masyarakat yang mampu beradaptasi dengan kenormalan baru, mulai banyak yang memberanikan diri untuk pelesiran guna melepas penat akibat situasi wabah yang belum kunjung usai.
Namun, semangat masyarakat untuk berwisata ini perlu dibarengi dengan kedisiplinan dalam pelaksanaan protokol kesehatan, lantaran masa transisi pagebluk virus corona masih dibayangi risiko terjadinya klaster Covid-19 di tempat wisata dan pusat-pusat keramaian publik.
Impor vaksin Sinovac tahap pertama sebanyak 1,2 juta dosis memang menjadi kabar gembira dan meni kan harapan bahwa pandemi segera berakhir. Tetapi jangan sampai harapan itu menimbulkan euforia terlalu dini yang bisa membuat penyelesaian pandemi makin sulit.
Di sisi lain, upaya membangkitkan kembali sektor padat karya ini harus terus didorong agar perekonomian masyarakat bisa bergulir kembali. Klaster tourism yang mencakup destinasi wisata, perhotelan, restoran, pusat perbelanjaan, hingga transportasi mengharapkan bahwa akhir tahun ini menjadi momentum kebangkitan bisnis mereka.
Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Event Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Rizki Handayani mengaku pihaknya memanfaatkan momentum liburan akhir tahun untuk membangkitkan kunjungan wisatawan domes k ke sejumlah destinasi wisata, khususnya Bali, salah satunya melalui program We Love Bali.
Program ini terdiri dari 10 program perjalanan berbeda, di mana yang berjalan ada 10 trip berturut-turut selama 2 bulan lalu, dan trip ke-11 pada 6—8 Desember 2020. “Seluruh program berlangsung selama 3 hari 2 malam ke berbagai destinasi wisata di Bali," ujarnya.
Baca Juga
Program ini melibatkan 409 pelaku industri pariwisata dan ekonomi kreatif dengan 8.421 tenaga kerja, serta 4.800 peserta dari masyarakat umum yang berasal dari Pulau Dewata. Tidak hanya mendongkrak wisatawan domestik, We Love Bali juga diadakan sebagai bentuk implementasi protokol cleanliness, health, safety, environment (CHSE) di sektor pariwisata.
Sementara itu, terkait dengan pemangkasan cuti bersama oleh pemerintah, Depu Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf Hari Santosa Sungkari menilai tidak akan mengurangi minat masyarakat untuk berwisata. Libur panjang Oktober 2020 terbuk dak menjadi klaster
penyebaran Covid-19, menjadi salah satu faktor pendorong untuk memacu kebangkitan pariwisata pada momentum liburan akhir tahun ini.
Selain itu, berwisata juga menjadi aktivitas yang tidak bisa dilepaskan dari momentum liburan akhir tahun. Berdasarkan data Kemenparekraf, tingkat keterisian kamar hotel di Bali dan Labuan Bajo untuk periode libur akhir tahun 24
Desember 2020—3 Januari 2021 mencapai 50% dari total kapasitas okupansi.
Menurut Hari, data tersebut menunjukkan pemangkasan liburan akhir tahun dak terlalu berdampak bagi masyarakat untuk berwisata dan bagi kalangan pelaku usaha, khususnya perhotelan.
Menurut Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, momentum liburan akhir tahun selama ini menjadi andalan bagi pelaku usaha perhotelan dan restoran untuk mendulang pendapatan. Pemangkasan cuti bersama tentunya akan mempengaruhi
tingkat keterisian hotel yang selama masa libur panjang sebelumnya selalu mengalami kenaikan hingga 5 persen.
Sebelumnya, Maulana memperkirakan tingkat okupansi hotel sampai dengan akhir 2020 meningkat sekitar 10 persen seiring dengan hadirnya tiket promo dari sejumlah maskapai penerbangan. Sejauh ini, pengunjung hotel masih didominasi oleh wisatawan yang menggunakan transportasi darat, khususnya kendaraan pribadi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Suharno menilai perubahan pola berwisata masyarakat membuat peran agen perjalanan terpinggirkan.
Di masa adaptasi kebiasaan baru, masyarakat lebih memilih untuk berwisata menggunakan kendaraan pribadi bersama keluarga, alih-alih menggunakan kendaraan umum atau bergabung dengan paket wisata. Selain itu, adanya tren staycation juga ikut berpengaruh terhadap agen perjalanan.
“Pola berwisata masih road trip, di satu pulau bersama keluarga menggunakan kendaraan pribadi. Ke ka di destinasi [wisata] mereka lebih banyak juga stay di hotel. Kalaupun bepergian juga naik kendaraan pribadi. Kami yang mengemas akomodasi, perjalanan, mengarahkan atau menjadi guide terpinggirkan,” ungkapnya.
Sementara itu, untuk permintaan paket wisata ke luar negeri Pauline menyebut sudah ada permintaan walaupun jumlahnya masih sangat kecil. Sejauh ini, agen perjalanan yang ada di Indonesia hanya menyediakan paket-paket wisata ke beberapa negara saja seper Turki, Maroko, Uni Emirat Arab, Rusia, dan Uzbekistan.
Negara-negara yang menjadi favorit kunjungan masyarakat Indonesia seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura hingga saat ini belum membuka pintunya untuk kunjungan wisatawan mancanegara untuk menekan penyebaran Covid-19.
Tentunya hal tersebut menjadi pukulan bagi agen perjalanan. Terlebih saat ini masyarakat cenderung enggan bepergian ke luar negeri lantaran khawatir tertular Covid-19 dan menghindari prosedur yang panjang sebelum berangkat atau saat berada di negara tujuan.
“Diskon juga tak banyak membantu. Jualan masih susah. Diskon yang ada juga tak bisa dibilang murah karena harganya masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan diskon saat kondisi normal,” tutupnya.
SIASAT PUSAT PERBELANJAAN
Pengelola pusat perbelanjaan pun bersiap menyambut momentum liburan akhir tahun. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pusat perbelanjaan akan dimeriahkan dengan dekorasi Natal dan Tahun Baru.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengungkapkan dekorasi yang disiapkan skalanya tidak akan sebesar dan seheboh seperti sebelum pandemi. Acara-acara khusus yang biasanya digelar juga diadakan untuk menghindari timbulnya kerumunan.
“Pasti ada program promo belanja oleh toko-toko atau para peritel karena strategi ini merupakan kunci utama untuk mendongkrak penjualan,” ungkapnya.
Alphonzus optimistis momentum liburan akhir tahun dapat mendongkrak kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan yang diyakini mampu menembus jumlah batas okupansi yang ditentukan, yakni 50 persen dari kondisi normal.
Saat ini, tingkat kunjungan di pusat perbelanjaan rerata mencapai 40 persen dibandingkan dengan kunjungan pada kondisi normal, dibandingkan dengan periode penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi jilid II yang berada di angka 20 persen—30 persen.
“Masyarakat semakin terbiasa dengan protokol kesehatan dan makin percaya bahwa pusat perbelanjaan adalah salah satu fasilitas masyarakat yang aman untuk dikunjungi dan berbelanja secara sehat,” tuturnya.
Walaupun demikian, pengelola pusat perbelanjaan tak berharap banyak. Pasalnya, daya beli masyarakat belum benar-benar pulih. Pola belanja masyarakat masih berfokus pada kebutuhan primer, alih-alih sekunder apalagi tersier.
Terkait dengan kebijakan pengurangan hari libur akhir tahun, dinilai justru positif bagi pusat perbelanjaan di Jakarta karena masyarakat diyakini lebih memilih untuk tidak liburan ke luar kota.
Sebaliknya, pemangkasan libur ini kurang menguntungkan bagi pusat perbelanjaan di luar Jakarta lantaran jumlah pengunjung ke daerah akan berkurang.