Bisnis.com, JAKARTA - Polisi menangkap tokoh agama Ustadz Maheer At-Thuwailibi karena dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan menyebarkan ujaran kebencian melalui media sosialnya.
Pakar hukum tata negara Refly Harun mengungkapkan kasus penangkapan Ustadz Maheer At-Thuwailibi alias Soni Eranata membuktikan penegakan UU ITE di Indonesia masih bermasalah. Pernyataan ini disampaikan pada siaran YouTube Refly Harun berjudul "Ustadz Maaher Ditangkap," yang diunggah pada Jumat (4/12/2020).
"Negara ini menurut saya masih sangat bermasalah dalam penegakan UU ITE," ungkap Refly pada video yang berdurasi 16 menit seperti dikutip Bisnis, Jumat (4/12/2020).
Menurut Refly, UU 16/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dimaksudkan untuk mengontrol transaksi di dunia siber, terutama mereka yang menggunakan dunia maya untuk menipu orang lain.
Namun, Refly melihat yang terjadi saat ini UU ITE justru digunakan sebagai alat ampuh bagi penguasa atau siapapun yang berada di lingkar kekuasaan untuk membungkam lawan-lawan politik.
Terlepas dari penangkapan Ustadz Maaher At-Thuwailibi pada Kamis (3/12/2020), Refly mengaku merasa khawatir setiap mengunggah kontennya di YouTube selalu merasa was-was. Kekhawatiran ini muncul lantaran nanti isi pembicaraannya akan dipermasalahkan atau tidak.
"Kalau itu terjadi pada anak bangsa maka sesungguhnya kita belum mencapai kemerdekaan, karena kemerdekaan itu adalah memajukan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah, dan mencerdaskan bangsa," kata Refly.
Mala Prohibita Vs Mala In Se
Organisasi pemerhati hak asasi manusia di negara demokratis Freedom House menilai Indonesia dengan skor 61 per 100 yang artinya sebagian bebas atau partly free.
Refly berpendapat penilaian ini disebabkan negara selalu ikut campur melalui tangan penegakan hukum pidananya untuk menghukum orang-orang yang dianggap melanggar UU ITE. Padahal pelanggaran tersebut dalam prespektif pidana terkategori mala prohibita bukan mala in se.
Pakar hukum ini menjelaskan bahwa mala in se adalah sebuah tindak pidana yang dari akarnya memang jahat. Seperti mencuri, merampok, memperkosa, menjambret, dan juga terutama korupsi.
Namun, mala prohibita menjadi tindak pidana karena UU melarangnya seperti politik uang (money politics) atau penghinaan dan sebagainya. Refly mengungkapkan penyebaran kebencian bersifat subjektif.
Oleh karena itu, Refly mengkritisi penerapan UU ITE ini karena dalam ujaran kebencian kepolisian tidak harus langsung melakukan tindakan pidana terhadap seseorang. Bisa melakukan rekonsiliasi terlebih dahulu, atau pun tindakan perdata, sebelum akhirnya beranjak kepada tindak pidana.
Refly berharap kepada para penegak hukum agar tidak selalu menggunakan perspektif pendekatan pidana apalagi langsung sampai menangkap, dan memenjarakan.
"Ya saya berharap ke depan hal seperti ini sesuai dengan sila pancasila ya, musyawarah dan mufakat maka kalau ada soal-soal seperti ini harusnya dipertemukan untuk dimusyawarahkan, bagaimana jalan keluarnya sangat pancasilais pendekatannya," ungkap Refly.