Bisnis.com, JAKARTA - Keberadaan keluarga atau orang dekat penguasa dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 menguatkan kesan begitu kuatnya cengkeraman dinasti dan oligarki politik.
Padahal esensi Pilkada sejatinya merupakan pengejawantahan semangat desentralisasi dengan konsep pembagian kekuasaan yang proporsional antara pusat dan daerah maupun elit dengan rakyat.
Namun keberadaan anak, keluarga, atau orang dekat elit penguasa dalam kontestasi tersebut semakin memupus asa para calon pemimpin potensial. Kaderisasi calon pemimpin terhenti. Pemimpin alternatif sulit dicari. Akibatnya proses demokratisasi terancam amburadul.
Cuitan politisi Demokrat Rachland Nashidik sebenarnya cukup menggelitik dan bisa jadi benar, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini anak dan mantu presiden ikut kontestasi Pilkada. Bersamaan pula.
Namun demikian, cuitan tersebut kalau dikaitkan di luar pilkada, partai politik misalnya, bisa menjadi senjata makan tuan buat bung Rachland. Toch, di partainya sendiri, aura dinasti juga sangat kental.
Tengok saja dalam struktur kepengurusan partai berlambang mercy tersebut di sana Ketua Majelis Tingginya adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum dijabat Agus Harimurti Yudhoyono, dan Wakil Ketua Umumnya Edhie Baskoro Yudhoyono. Ketiganya punya pertalian hubungan bapak dan anak.
Kembali soal Pilkada, Pilwakot Solo dan Medan memang kerap disorot soal pertalian dinasti dan oligarki politik. Di Solo ada nama Gibran Rakabuming Raka yang notabene adalah anak kandung Presiden Joko Widodo. Dia dicalonkan oleh PDI Perjuangan.
Sejak awal Gibran dicalonkan, kandidat calon wali kota lainnya ciut nyali. Bahkan elit DPC PDIP Kota Surakarta yakni Achmad Purnomo harus ditendang yang dugaannya demi memuluskan langkah 'anak mbarep' presiden ini. Semua partai politik, kecuali PKS, tiarap. Sempat muncul kekhawatiran Pilkada Solo hanya diikuti oleh calon tunggal.
Di Medan juga sama, Bobby Nasution yang merupakan mantu pak presiden juga maju sebagai calon wali kota. Kemunculannya juga memakan tumbal salah satu kader PDIP Akhyar Nasution. Akhyar yang dicampakkan kemudian ganti baju Partai Demokrat.
Intinya Akhyar Nasution dan Achmad Purnomo sama-sama ditendang oleh partai demi memuluskan anak dan mantu presiden. Padahal kalau dikalkulasikan secara politik, keduanya cukup mengakar baik di Solo maupun di Medan. Punya basis massa dan pengikut loyal yang menjadi bekal stabilitas pemerintahan kelak.
Di samping dua kasus tersebut, kontestasi politik di Tangerang Selatan juga menarik untuk dicermati. Di kota yang menjadi salah satu penyangga ibu kota itu ada tiga dinasti yang bakal bertarung.
Secara tradisional, Tangsel selalu dikuasai oleh dinasti mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosyiah. Airin Rachmi Diany wali kota Tengerang Selatan saat ini merupakan adik ipar Ratu Atut. Nah, dalam Pilkada 2020 ini, dinasti ini akan diwakili oleh Pilar Saga Ichsan.
Pilar Saga Ichsan merupakan putra dari Ratu Tatu Chasanah, Bupati Serang yang juga adik dari Ratu Atut Chosiyah. Sementara penantang dinasti atut berasal dari dua dinasti politik yang berbeda.
Pertama, Siti Nur Azizah anak Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Kedua, datang dari keluarga Djojohadikusumo yakni Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Dia merupakan anak kandung politikus Gerindra Hashim Djojohadikusumo sekaligus keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto Djojohadikusumo.
Di luar tiga wilayah tersebut, sebenarnya calon pemimpin yang berasal dari dinasti politik lokal juga banyak yang akan ikut pilkada 2020. Di Banyuwangi ada Ipuk Fiestiandani yang merupakan istri Bupati Bupati Banyuwangi saat ini Abdullah Azwar Anas, di Makassar ada juga nama Munafri Arifuddin yang merupakan mantu pengusaha dan politsi Golkar Aksa Mahmud. Sedangkan di Kediri ada nama Hanindhito Himawan Pramana. Hanindhito adalah anak Sekretaris Kabinet dan Politisi PDI Perjuangan Pramono Anung.
Nagara Istitute dalam sebuah kajiannya bahkan menyebut ada 124 calon kepala daerah yang memiliki terafiliasi dengan dinasti politik. Jika dirinci calon yang terafiliasi dinasti terdiri dari 57 calon bupati, 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota, 8 calon wakil wali kota, 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur. Jadi semuanya tersebar alias rata, enggak hanya Jawa, luar Jawa juga ada politik dinasti.
Intinya, meminjam istilah dari politisi Partai Gelora Fahri Hamzah, oligarki dan dinasti politik bukan penyakit salah satu suku saja, tetapi sudah menjadi masalah besar bagi kehidupan demokrasi yang dijamin oleh konstitusi. Mental atau cara feodalisme menjadi biang keroknya: Nah itulah yang harus didekonstruksi!