Bisnis.com, JAKARTA - Twitter dan Facebook akan menandai peralihan kekuasaan dari Presiden Donald Trump ke Presiden terpilih Joe Biden dengan menyerahkan aku POTUS.
Kendali akun POTUS di Twitter dan Facebook akan diserahkan ke pemerintahan Joe Biden pada 20 Januari, kata perusahaan media sosial itu, Sabtu, seperti dikutip Tempo, Minggu (22/11/2020).
Akun @POTUS di kedua media sosial tersebut merupakan akun resmi Presiden Amerika Serikat yang diambil dari singkatan President of the United States.
Akun ini terpisah dari akun Twitter @realDonaldTrump dan halaman Facebook @DonaldTrump yang sebagian besar digunakan oleh Presiden AS Donald Trump untuk menulis unggahan.
"Twitter secara aktif bersiap untuk mendukung transisi akun Twitter institusional Gedung Putih pada 20 Januari 2021. Seperti yang kami lakukan untuk transisi presiden pada 2017, proses ini dilakukan dalam konsultasi yang erat dengan Arsip dan Catatan Nasional," kata perusahaan tersebut mengkonfirmasi pada Sabtu, 21 November 2020.
Raksasa media sosial itu juga akan menyerahkan kendali akun lembaga lainnya untuk Gedung Putih, wakil presiden dan ibu negara Amerika Serikat, pada hari pelantikan.
Baca Juga
"Pada 2017, kami bekerja dengan Pemerintahan Obama dan Pemerintahan Trump yang akan datang untuk memastikan transisi akun Facebook dan Instagram mereka berjalan lancar pada 20 Januari, dan kami berharap untuk melakukan hal yang sama di sini," kata Facebook perihal akun POTUS.
Politico melaporkan sebelumnya bahwa penyerahan akun Twitter @POTUS tidak memerlukan pembagian informasi antara tim Trump yang akan keluar dan tim Biden yang akan datang.
Dilaporkan juga bahwa Twitter akan bertemu dengan pejabat transisi Biden dan Wakil Presiden terpilih Kamala Harris dalam beberapa bulan mendatang untuk membahas perincian tentang bagaimana pemerintahan baru akan menggunakan Twitter.
Joe Biden bersiap untuk menjabat pada 20 Januari, tetapi Donald Trump menolak untuk mengalah dan berusaha untuk menggagalkan atau membatalkan hasil pemilu AS melalui tuntutan hukum dan penghitungan ulang di sejumlah negara bagian, dengan mengklaim tanpa bukti ada penipuan pemilih yang meluas.