Bisnis.com, JAKARTA - Habib Rizieq Shihab (HRS) Center menyampaikan pernyataan sikap terkait penerapan hukum protokol kesehatan Covid-19 saat penyelenggaraan sejumlah kegiatan Front Pembela Islam (FPI) pada pekan lalu yang menuai polemik.
HRS Center meminta terkait acara perayaan Maulid Nabi Muhammad dan pernikahan putri Rizieq Shihab di Petamburan, Jakarta Pusat untuk disikapi dengan pendekatan hukum dan bukan pendekatan politik.
“Seiring dengan itu, banyak dijumpai pendapat dan komentar yang tidak berdasarkan argumentasi yuridis. Terlebih lagi saat ini sedang dilakukan proses penyelidikan boleh pihak Kepolisian Republik Indonesia dengan pemanggilan klarifikasi Gubernur DKI [Anies Baswedan] dan pihak lainnya,” ujar Kepala Bidang Hukum HRS Center Muhammad Kamil Pasha, dikutip dari YouTube Front TV, Kamis (19/11/2020).
Lebih lanjut, dia menyatakan terdapat enam sikap HRS Center terhadap penerapan hukum protokol kesehatan.
Pertama, mereka menilai sistem penanganan pandemi Covid-19 yang ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau bukan sistem karantina wilayah.
Walhasil, dasar hukum pemberlakuannya adalah merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan penanganan corona virus disease 2019 (Covid-19).
Kedua, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun 2020 tentang pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan penanganan corona virus disease 2019 (COVID-19) tersebut didasarkan pada UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
“UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tidak mengatur mengenai PSBB,” tegas Kamil.
Dengan demikian, sambungnya, pemberlakuan PSBB merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak menyebutkan norma hukum, larangan, dan sanksi pidana PSBB sehingga norma hukum Pasal 9 juncto Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan berlaku pelanggaran soal kekarantinaan atau bukan PSBB.
“Dengan demikian penyelidikan polisi terhadap Maulid Nabi Muhammad SAW dan pernikahan putri Iman Besar Habib Rizieq Shihab harus dinyatakan bukan peristiwa atau perbuatan pidana,” ujarnya.
Keempat, penerapan pasal 216 KUHP juga dipandang tidak tepat guna kepentingan penyelidikan perkara a quo karena tidak ada relevansinya dengan penyelenggaraan PSBB.
Kelima, ihwal penjatuhan denda Rp50 juta kepada Rizieq Shihab oleh Pemprov DKI Jakarta bukan dimaksudkan sebagai pelanggaran hukum pidana, melainkan sebagai denda administratif.
“Denda administratif yang telah dibayarkan Iman Besar Habib Rizieq Shihab memperjelas tidak adanya perbuatan pidana,” tuturnya.
Terakhir, HRS Center menyimpulkan bahwa berdasarkan uraian di atas, maka Rizieq Shihab dan pihak terkait lainnya tidak dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan pidana.