Bisnis.com, JAKARTA – Pelanggaran protokol kesehatan untuk menjaga jarak dan memakai masker belakangan jadi perbincangan panas setelah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab pulang ke Indonesia.
Satgas Covid-19 dan kepala daerah jadi bulan-bulanan publik lantaran dinilai tak tegas menegakkan protokol kesehatan.
Ditelisik ke belakang, pemerintah dan Satgas Covid-19 sebetulnya sudah ‘jebol’ beberapa kali kejadian.
Misalnya, acara dangdutan di Wisma Atlet, ketika tempat itu menjadi tempat penularan Covid-19 tertinggi, justru terjadi kerumunan. Kala itu, dalihnya adalah bahwa para relawan yang bertugas di sana perlu hiburan.
Kemudian, ada lagi kerumunan di Waterbom Medan dengan pesta di kolam ombak, dan kerumunan pada penutupan McDonald’s Sarinah.
Kedua pemilik tempat akhirnya dikenakan denda.
Selanjutnya, demo Omnibus Law UU Cipta Kerja, kampanye pilkada calon Wali Kota Gibran di Solo, dan yang terakhir adalah Maulid Nabi hingga pernikahan anak Rizieq Shihab yang berbuntut pencopotan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat.
Semua kerumunan tersebut terjadi di tengah tambahan kasus Covid-19 yang terus menanjak, bahkan sempat menembus 5.000 kasus.
Berdasarkan data terakhir, Kamis (19/11/2020), tercatat tambahan 4.789 kasus Covid-19, sehingga total menjadi 483.518. Kemudian, yang meninggal juga bertambah 97 orang, sehingga totalnya sudah mencapai 15.600 orang.
Kerumunan tersebut menjadi sorotan warga terutama DKI Jakarta, lantaran Jakarta menerapkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Warga makin geram, setelah Satgas Covid-19 justru membagikan sampai 20.000 masker pada acara pernikahan putri Rizieq, Sabtu (14/11/2020).
Satgas Covid-19 dan pemerintah daerah (Pemprov DKI) dinilai tak tegas menegakkan aturan protokol kesehatan.
Pembiaran kerumunan itu menimbukan kecemburuan di daerah-daerah lain yang masih terus dibatasi mobilitasnya.
Sementara itu, masyarakat yang sudah lelah menjalankan protokol kesehatan selama sembilan bulan pandemi juga berpotensi ikut melonggar dan makin tidak patuh protokol kesehatan.
Relawan Mundur
Atas tindakan Satgas Covid-19 tersebut, ribuan relawan akhirnya mengundurkan diri, lantaran merasa kerja kerasnya selama sembilan bulan pandemi sia-sia ketika kerumunan massa dibiarkan.
Tagar #IndonesiaTerserah akhirnya kembali digaungkan oleh salah satu relawan Covid-19 dokter Tirta Mandira Hudhi.
Dia menilai Satgas Covid-19 terkesan ‘plin-plan’ dan dalam menegakkan protokol kesehatan, sehingga berpotensi membuat masyarakat bertindak semaunya yang akan membebani para relawan dan tenaga kesehatan.
Mengapa masyarakat terus melanggar?
Tirta mengutip sejumlah jurnal, mengatakan bahwa rakyat tak lagi patuh karena ada trust issue atau masalah kepercayaan dengan pemerintah. Masyarakat merasa selama ini mematuhi protokol tidak ada perubahan, sehingga terjadi pembangkangan sipil.
Trust issue ini makin menjadi karena protokol dibuat seolah hanya seperti gimmick, berubah-ubah terus, dan ada tebang pilih. Satu pihak dilarang-larang, sementara mereka yang punya banyak massa diperbolehkan mengadakan kerumunan.
“Ada PSBB DKI, jam malam di mana-mana, penegak hukum kalau razia masker luar biasa, tapi ketika yang melakukan ini tokoh yang punya massa, mereka nggak ngapa-ngapain,” ungkap Tirta beberapa hari lalu
Sanksi Administrasi
Pada kerumunan massa di acara peringatan Maulid Nabi di markas FPI, Petamburan III Jakarta Pusat, Pemprov DKI mendenda Rizieq sebesar Rp50 juta akibat pelanggaran protokol kesehatan.
Tirta menilai, denda itu tidak akan membuahkan hasil jangka panjang.
“Pemerintah seharusnya mencontoh negara lain yang tidak menjatuhkan sanksi berupa denda, tapi hukuman. Seperti India, Jepang, Hong Kong, dan Taiwan menjatuhkan sanksi hukuman yang mendorong warga mengubah perilakunya,” kata dia.
Sejumlah ahli juga menilai bahwa meski sudah didenda, penyelenggara acara tetap harus mendapatkan hukuman pidana.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Hamid Awaluddin mengatakan, secara perspektif hukum, kerumunan terdiri dari banyak orang, sehingga tidak mungkin semuanya ditangkap.
“Jadi kalau mau melakukan pendektan yuridis, maka yang dicari adalah penanggung jawab acara itu,” tegasnya dalam bincang bersama Rosiana Silalahi, Kamis malam (19/11/2020).
Dia memaparkan, bahwa yang menjadi masalah adalah situasi Covid-19 sudah melampaui kemampuan manusia untuk memahaminya.
“The only way yang bisa dilakukan adalah menjaga jarak dengan protokol ketat, mencuci tangan dan mendisinfeksi. Kalau ketiga faktor ini terlanggar, artinya penularan makin menjadi. Dalam konteks Petamburan, DKI Jakarta Covid-19 nya paling tinggi, sementara kerumunan tidak bisa dicegah. Ketidakbisadicegahan ini harus dicari kenapa, karena artinya ada yang mengorganisir,” imbuhnya.
Kendati pelaksana kerumunan sudah membayar denda administratif Rp50 juta, Hamid mengatakan bahwa sanksi tersebut merupakan sanksi administrasi dari Peraturan Gubernur DKI Jakarta dan bukan sanksi pidana berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018.
“Itu sanksi sifatnya administratif. Kembali ke UU Karantina, apa tujuan kekarantinaan? Tujuannya mencegah keluar masuknya penyakit dan faktor risiko kesehatan masyarakat, dan tidak mencegah ini sudah masuk pidana. Jadi meskipun sudah ada sanksi administratif, tidak menghilangkan pidananya,” ujarnya.
Instruksi Mendagri
Di sisi lain, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengeluarkan instruksi kepada kepala daerah untuk melakukan pencegahan kerumunan dengan secara konsisten menegakkan protokol kesehatan Covid-19 berupa memakai masker, mencuci tangan dengan benar, menjaga jarak.
Kepala daerah diinstruksikan untuk melakukan langkah-langkah proaktif untuk mencegah penularan Covid-19 dan tidak hanya bertindak responsif atau reaktif.
Ribuan jamaah menyambut kedatangan Imam Besar Habib Rizieq Shihab di jalur Puncak, Simpang Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (13/11/2020). Kedatangan Imam Besar Habib Rizieq Shihab ke Pondok Pesantren (Ponpes) Alam Agrokultural Markaz Syariah DPP FPI, Megamendung, Kabupaten Bogor untuk melaksanakan salat Jumat berjamaah sekaligus peletakan batu pertama pembangunan masjid di Ponpes tersebut/Antara
Melalui aturan ini, mendagri meminta pencegahan dapat dilakukan dengan cara humanis dan penindakan termasuk pembubaran kerumunan dilakukan secara tegas dan terukur sebagai upaya terakhir.
Adapun, kepala daerah yang tidak mentaati aturan tersebut dapat dikenakan sanksi, bahkan sampai dengan pencopotan jabatan.
Dokter Tirta mengatakan bahwa pencopotan kepala daerah tak ada efeknya, karena yang harus dilawan adalah virus, dan virus tidak takut dengan hukum.
“Mencopot-copot ini tidak akan menghasilkan apapun, karena kerumunan terus terjadi dan menimbulkan kecemburuan di daerah lain dan membuat potensi saling mencari kesalahan kepala daerahnya,” ungkap Tirta.
Dia menegaskan, seharusnya Satgas Covid-19 mengajak dialog tokoh-tokoh yang memang terlibat pelanggaran protokol.
“Solusinya tetap harus ada dialog persuasif, karena dunia kedokteran tidak bisa disamakan dengan dunia represif. Ada kerumunan Petamburan, ada kerumunan di demo Omnibus Law, dan bandara. Berarti tokohnya jelas, habib [Rizieq Shihab] diajak dialog, lalu Satgasnya, kepala daerahnya, duduk bareng, ayok jangan gini lagi. Kalo bisa Habib Rizieq ajak kolaborasi mengenai protokol,” tegasnya.
Kalau sudah begini, siapa yang salah?