Bisnis.com, JAKARTA – Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bisa jadi adalah dua tokoh di Amerika Serikat yang merasa lega atas kemenangan Joseph Robinette Biden Jr alias Joe Biden dalam pemilihan presiden negara itu pada 3 November lalu.
Tak terlalu jelas benar apa pandangan politik kedua sobat kental tersebut. Namun nampaknya kelegaan tersebut jelas tecermin kuat, sekokoh kegembiraan pada pendukung Partai Demokrat yang mengusung Biden, politisi veteran AS itu.
Kubu Demokrat sangat wajar bersuka ria karena berhasil mengalahkan rival utamanya, Partai Republik yang menjagokan Donald Trump yang berambisi memimpin kembali AS. Namun suara rakyat pada pemilihan 2016 dan 2020 sudah berbeda.
Mereka telah menentukan pilihannya, siapa yang layak memimpin Gedung Putih empat tahun berikutnya. Bila tak ada aral melintang, presiden tertua dalam sejarah AS itu akan dilantik pada 20 Januari mendatang.
Lalu bagaimana nasib Trump? Apakah rela turun kasta sebagai politisi di luar Gedung Putih apapun lembaganya atau malah sama sekali akan melupakan jagat politik dan kembali fokus pada dunia bisnis?
Hanya Trump dan Tuhan yang tahu. Atau jangan-jangan dia bersedia menerima bila ditawarkan Biden masuk dalam kabinetnya? Agak sulit menjawabnya karena terlalu spekulatif meski dalam politik praktis tidak dikenal istilah musuh abadi.
Apa hubungannya kekalahan Trump dengan duo Levitsky- Ziblatt? Usut punya usut, akar masalahnya adalah pada ‘demokrasi’. Lebih tepatnya, How Democracies Die. Itulah buku karya dua profesor Universitas Harvard tersebut yang terbit dua tahun setelah Trump memegang tampuk kekuasaan di AS.
Sebenarnya mereka tidak hanya mengkritisi tanda-tanda kematian demokrasi di negeri Paman Sam tetapi sedikit banyak juga di negara lain. Namun, kajian lebih banyak dialamatkan ke negeri sendiri (AS), yang kerap dikenal sebagai ‘guru demokrasi dunia’.
Kedua kolega itu bahkan sampai mempertanyakan masalah yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, yaitu apakah demokrasi AS (di bawah kekuasaan Donald Trump) berada dalam bahaya?
Ada satu hal yang dikhawatirkan Levitsky- Ziblatt. Mereka berpandangan para politikus AS saat ini memperlakukan pesaing sebagai musuh, mengintimidasi pers bebas, dan mengancam akan menolak hasil pemilihan umum.
Mereka mencoba melemahkan kelembagaan pelindung demokrasi, termasuk pengadilan, badan intelijen, dan kantor etika.
“Dan di Amerika Serikat, untuk pertama kali dalam sejarah, seseorang tanpa pengalaman sebagai pejabat publik, tanpa banyak komitmen terhadap hak-hak konstitusional, dan dengan kecenderungan otoriter yang jelas, dipilih menjadi presiden.”
Saya tersentak juga ketika kedua pakar politik dan pemerintahan itu mengatakan bahwa kemunduran demokrasi hari ini dimulai di kotak suara. Pasalnya, tak lama lagi Indonesia juga akan menggelar pilkada serentak yang dijadwalkan 9 Desember mendatang. Semoga saja kekhwatiran itu tak terjadi di Tanah Air.
Bagaimana persisnya kemunduran demokrasi itu?
Levitsky- Ziblatt mengingatkan bahwa jalan menuju kerusakan melalui pemilu benar-benar mengecoh. Dengan kudeta klasik yang digerakan pihak militer, kematian demokrasi langsung terjadi dan tampak jelas bagi semua pihak.
Istana presiden dibakar, presiden terbunuh, ditawan, ditahan atau diasingkan serta konstitusi dianggap tidak berlaku atau dibuang. Sebaliknya di jalur pemilu, perubahan radikal kasat mata itu tak terjadi.
Tak ada kendaraan lapis baja di jalanan. Konstitusi dan lembaga berlabel demokratis lainnya tetap ada. Rakyat masih memberi suara. Hanya saja, autokrat hasil pemilu mempertahankan tampilan demokrasi sambil menghilangkan substansinya.
Orang tak langsung menyadari apa yang terjadi. Banyak yang percaya bahwa mereka masih hidup di alam demokrasi.
Lantaran tak ada satu momen—tak ada kudeta, pengumuman hukum darurat militer atau pernyataan bahwa konstitusi tak berlaku—maka ketika rezim jelas-jelas telah melewati batas memasuki kediktatoran, tidak ada yang bisa membuat alarm masyarakat berbunyi.
Malah mereka yang mencela tindakan pemerintah bisa jadi dianggap berlebihan atau bohong. Erosi demokrasi itu hampir tak terasa bagi banyak orang.
Kembali ke soal politik domestik AS di bawah Trump, seberapa rentan demokrasi Amerika terhadap kemunduran semacam itu? Diyakini jauh lebih kuat dari apa yang pernah mengguncang Venezuela, Turki atau Hongaria. Namun apakah cukup kuat?
Dalam hal ini Levitsky- Ziblatt mempunyai dua model tes penting bagi demokrasi. Pertama, apakah pemimpin politik, dan terutama partai politik, bekerja untuk mencegah para demagog (provokator) meraih kekuasaan?
Kedua, akankah pemimpim autokratik membajak lembaga-lembaga demokrasi atau dibatasi oleh lembaga-lembaga itu. Lembaga saja tak cukup untuk mengekang autokrat terpilih.
Konstitusi mesti dibela, oleh partai politik dan rakyat terorganisasi dan juga oleh norma-norma demokratik. Tanpa ada pertahanan semacam itu, lembaga-lembaga menjadi senjata politik dan digunakan mereka yang mengendalikannya untuk menghantam mereka yang tidak.
Paradoks tragis jalan menuju kerusakan melalui pemilu adalah bahwa para pembunuh demokrasi menggunakan lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri. Pelan-pelan, secara halus, bahkan legal, untuk membunuhnya.
Menurut Levitsky- Ziblatt, AS gagal di tes pertama pada November 2016 ketika rakyat memilih seorang presiden yang diragukan kesetiaannya kepada norma-norma demokrasi.
“Kemenangan mengejutkan Donald Trump bukan hanya dimungkinkan oleh kekecewaan publik, melainkan juga kegagalan Partai Republik mencegah demagog ekstrem di dalamnya mendapat pencalonan.”