Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kepatuhan Jaga Jarak Rendah, Padahal Paling Ampuh Cegah Penularan Covid-19

Menjaga jarak sebetulnya lebih mudah dilakukan, karena masker dan mencuci tangan orang perlu alat, perlu masker, sabun, air, atau hand sanitizer.
Massa berkerumun tanpa menjaga jarak fisik protokol kesehatan saat mengikuti aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law di depan kompleks DPRD Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/10/2020). Satgas Penanganan Covid-19 mengimbau agar masyarakat yang berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi di depan publik melaksanakan protokol kesehatan dan menjaga jarak fisik guna mencegah penyebaran Covid-19 yang berpotensi terjadi pada kerumunan demonstrasi. ANTARA FOTO/Aji Styawan
Massa berkerumun tanpa menjaga jarak fisik protokol kesehatan saat mengikuti aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law di depan kompleks DPRD Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/10/2020). Satgas Penanganan Covid-19 mengimbau agar masyarakat yang berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi di depan publik melaksanakan protokol kesehatan dan menjaga jarak fisik guna mencegah penyebaran Covid-19 yang berpotensi terjadi pada kerumunan demonstrasi. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Bisnis.com, JAKARTA – Berdasarkan aplikasi Monitoring Perubahan Perilaku dari Satgas Penanganan Covid-19 dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, tercatat kepatuhan menjaga jarak menjadi yang terendah.

Dari seluruh orang yang dipantau, kepatuhannya hanya di kisaran 70 persen.

Dibandingkan dengan kepatuhan memakain masker dan mencuci tangan yang masih di atas 80 persen. Sementara, menurut pakar menjaga jarak adalah hal yang paling mudah dilakukan karena tidak perlu alat apa pun.

“Saya mengerti jaga jarak itu tidak berkaitan dengan dia sendiri. Kalau mencuci tangan dan memakai masker kalau sudah sadar pentingnya akan melakukan. Tapi, jaga jarak kan tidak hanya tergantung satu orang tapi juga dengan orang lain,” jelas Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 Bidang Perubahan Perilaku Turro Wongkaren pada konferensi pers virtual, Kamis (5/11/2020).

Misalnya, kalau harus kerja naik kendaraan umum, artinya satu sama lain harus mengerti untuk menjaga jarak, sedangkan tidak semua orang memahami pentingnya jaga jarak maka kerumunan atau berdekatan tidak terhindarkan.

“Jaga jarak ini tidak cuma penting, tapi efektivitasnya juga paling tinggi. Kalau mencuci tangan kita asumsikan virusnya sudah di tangan dan kita harus cuci, kemudian pakai masker untuk mencegah kalau ada virus di udara atau di orang terdekat yang berkomunikasi dengan kita. Tapi kalau menjaga jarak, kalau kita tidak dekat-dekat dengan orang yang sakit, baik itu OTG atau bergejala itu peluang tertularnya akan lebih rendah,” jelasnya.

Lebih Mudah Dilakukan

Menjaga jarak sebetulnya lebih mudah dilakukan, karena masker dan mencuci tangan orang perlu alat, perlu masker, sabun, air, atau hand sanitizer.

“Jaga jarak susahnya kan memang secara struktural orang lain tidak mau atau tidak enak kalau jauh-jauh. Ini berkaitan dengan budaya orang Indonesia juga yang suka menjaga perasaan. Kita nggak akan bilang ‘jangan dekat-dekat saya!’. Ini kalau di luar negeri biasa,” ungkapnya.

Sebagai langkah antisipatif, terutama bagi penderita penyakit bawaan atau komorbid, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dari Siloam Hospitals Candra Wiguna menambahkan agar semua orang, termasuk komorbid, mempertahankan prinsip menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker agar tetap berlaku.

“Bagi penderita komorbid, karena dia lebih rentan, harus mengusahakan bisa lebih aman dan dianjurkan untuk bisa mengendalikan penyakit penyertanya sendiri dan memahami kemampuan diri,” kata Candra.

Misalnya, menderita hipertensi diharapkan bisa berkonsultasi dengan dokternya, kemudian jika perlu dibantu dengan rutin minum obat penurun tensi sampai mencapai tensi yang diinginkan. Demikian pula dengan penderita komorbid lainnya seperti diabetes agar minum obat sampai terkendali dan yang penyakit jantung bisa konsultasi dengan dokternya.

Pada saat pandemi ini banyak pasien yang khawatir datang ke rumah sakit karena takut banyak virusnya padahal, kata Candra, di mana saja virusnya banyak.

“Sudah banyak terobosan yang sudah kita lakukan, dalam hal ini ada layanan telemedicine di mana pasien bisa konsultasi dengan dokter terkait dosis obat dan sebagainya. Memang kekurangannya tidak bisa dilakukan pemeriksaan secara fisik. Tapi ini cukup efektif menjaga agar penderita penyakit penyerta tetap sehat,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Mutiara Nabila
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper