Bisnis.com, JAKARTA - Potensi penyalahgunaan oleh pemerintah atau kekuasaan eksekutif menjadi hal yang paling mungkin akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan di tengah melemahnya fungsi parlemen.
Hal itu ditegaskan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus seusai diskusi media bertajuk Setahun Jokowi-Ma'ruf: Evaluasi dan Proyeksi Janji di Tengah Pandemi yang diselenggarakan secara daring oleh Para Syndicate, Selasa (20/10/2020).
Menurutnya, evaluasi 1 tahun kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf tak terlepas dari relasi pemerintah dan Parlemen. Pasalnya, dua lembaga ini punya kewenangan setara, sama-sama lembaga tinggi negara. "Yang membedakan keduanya adalah dari sisi fungsi. Presiden sebagai eksekutor, sedangkan parlemen sebagai legislator dengan peran utama lain melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan juga budgeting," jelasnya kepada Bisnis.
Lucius menjelaskan sebagai lembaga yang sama-sama berkuasa, hubungan keduanya sangat menentukan. Parlemen dan pemerintah dalam sistem demokrasi menjalin hubungan check and balances. Pola hubungan ini diciptakan untuk mencegah penumpukan kekuasaan, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan mengantisipasi kesewenang-wenangan.
"Selalu ada batas bagi sebuah kekuasaan ketika ada pihak lain yang setara selalu menjadi penyeimbang dan pengontrol," jelas dia.
Dengan paradigma itu, menurut dia, masyarakat bisa menilai bagaimana pemerintahan Jokowi-Ma'ruf pada tahun pertama periode 2019-2024.
Baca Juga
Secara umum, bisa dikatakan Jokowi berhasil menyiapkan kondisi yang membuatnya leluasa sebagai eksekutor. Keberhasilan Jokowi itu ditandai dengan dominannya koalisi pendukungnya di parlemen, lembaga yang mempunyai kekuasaan setara tetapi berfungsi sebagai penyeimbang.
Keberhasilan Jokowi itu, sebutnya, tentu saja buah dari kepercayaan rakyat pada saat pemilu yang memberikan suara lebih banyak kepada parpol pendukungnya ketimbang ke kelompok koalisi. Selain hasil proses demokrasi pemilu, strategi politik Jokowi sendiri memberikan andil bagi semakin kuatnya kekuatan pendukungnya di parlemen.
"Kredit untuk Jokowi ini terkait dengan suksesnya dia menarik Gerindra yang menjadi kekuatan oposisi dominan di kelompok oposisi. Dengan masuknya Gerindra, maka kekuatan Jokowi menjadi semakin sempurna," ujarnya.
Koalisi Menguat, Parlemen Melemah
Lucius menilai keberhasilan Jokowi ini di satu sisi patut diapresiasi karena secara politik, Jokowi mampu menunjukkan kepiawaiannya sebagai politisi untuk mengambil peran sebagai kunci bagi sikap politik parpol-parpol parlemen.
Namun di sisi lain, kepiawaian Jokowi menarik Gerindra juga menjadi lonceng kematian dini parlemen sebagai lembaga penyeimbang.
"Ya, setelah dominasi koalisi sudah semakin sempurna, parlemen menjadi macan ompong yang tak berkutik di hadapan pemerintah. Parlemen cenderung menjadi stempel bagi keinginan-keinginan pemerintah," jelas dia.
Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (20/10/2020). - Biro Pers Sekretariat Presiden/Kris
Dengan kata lain, sambung Lucius, akumulasi kekuasaan yang sudah dibangun Jokowi setahun terakhir menghilangkan secara sistematis peran check and balances eksekutif-legislatif.
Ketika kekuatan menjadi terakumulasi pada satu gelombang koalisi saja, jelasnya, maka potensi melakukan penyimpangan kekuasaan menjadi terbuka.
"Jokowi merasa seolah-olah pemilik republik, pemegang kebenaran, sehingga apapun yang ia katakan adalah kebenaran. Parpol pendukung mem-back-up secara politis agar kecenderungan kekuasaan yang menyimpang itu tak terlihat tidak demokratis."
Parlemen, kata Lucius, tetap seolah-olah menjadi lembaga penyeimbang walau yang dihasilkan adalah mengikuti apa mau pemerintah.
"Potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang paling mungkin akan terjadi beberapa tahun ke depan. Bukan hanya terkait pembungkaman suara kritis, tetapi korupsi, dinasti politik, dan lain-laon akan bisa tumbuh dengan subur," tegasnya.