Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Setahun Jokowi-Ma'ruf: Fraksi Koalisi di DPR Dominan, Pengawasan Lemah 

Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menyatakan perbandingan kursi antara koalisi dan oposisi di badan parlemen sangat timpang.
Presiden Joko Widodo saat dilantik menjadi presiden periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019) - Bisnis/Nurul Hidayat
Presiden Joko Widodo saat dilantik menjadi presiden periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019) - Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Dominasi fraksi koalisi di parlemen dinilai telah melemahkan fungsi pengawasan terhadap program pemerintah.

Hal ini disampaikan oleh peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus dalam diskusi media bertajuk Setahun Jokowi-Ma'ruf: Evaluasi dan Proyeksi Janji di Tengah Pandemi yang diselenggarakan secara daring oleh Para Syndicate, Selasa (20/10/2020).

Dia mengatakan perbandingan antara koalisi dan oposisi di badan parlemen menghasilkan komposisi koalisi yang dominan. Partai yang mendukung pemerintah sebanyak 349 kursi dibanding 226 oposisi.

Jumlah oposisi semakin menciut seiring dengan beralihnya Gerindra mendukung presiden. Saat ini, kursi oposisi (Demokrat, PKS, dan PAN) menciut menjadi 148 kursi melawan 427 kursi koalisi.

"Setelah 1 tahun berjalan, ada permasalahan serius dari dominasi koalisi di parlemen. Kita bisa lihat bagaimana parlemen dengan mudah mengebut RUU yang kontroversial di hadapan penolakan begitu banyak oleh publik," ujarnya. 

Di satu sisi, efek pemilu serentak untuk penguatan sistem presidensial secara umum terjawab melalui komposisi yang terbentuk di parlemen.

Pada saat yang sama, semakin solid koalisi, membuat kekuasaan besar presiden semakin tak terkendali di hadapan dominasi parlemen.

Hanya dalam setahun, DPR sudah mengesahkan tiga RUU prioritas pada periode ini. Jumlah ini sama dengan yang dihasilkan pada 2014-2019. 

Lucius memaparkan, pengesahan RUU Minerba bahkan tidak lebih dari 10 hari. Kinerja yang dinilai 'luar biasa' itu dinilainya bukan sesuatu yang positif. Pemerintah dapat dengan mudahnya menjalankan program di saat pengawasan terhadap mereka lemah. 

Alhasil, kebijakan yang dirilis tidak mengacu kepada kebutuhan prioritas kepentingan masyarakat tetapi hanya kepentingan segelintir elite politik.

"Bukan karena mereka sangat rajin atau menyadari RUU prioritas harus diselesaikan. Yang terlihat menjadi pendorong justru karena kepentingan di balik RUU itu," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nindya Aldila
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper