Bisnis.com, JAKARTA - China menolak ikut serta dalam perpanjangan Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (DSSI) untuk negara-negara miskin yang disepakati G20 kemarin. Sebagai kreditur terbesar dalam kelompok ini, sejumlah pihak sangat menyayangkan sikap China.
Dilansir Aljazeera, pejabat China mengatakan tidak dapat berkomitmen pada perpanjangan penangguhan utang karena ilegal menurut hukum negara itu. Pejabat lain mengatakan salah satu solusinya yakni mencatat kebutuhan setiap negara debitur dan mewadahinya melalui prosedur persetujuan domestik pada waktu yang tepat. Menurut sumber yang dekat dengan masalah ini, selain China, Turki dan India juga menunjukkan bahasa menolak keras penangguhan utang.
"Sangat disayangkan bahwa kebutuhan mendesak akan keringanan utang yang lebih luas bagi negara-negara miskin terhalang oleh sikap menolak China, yang telah menjadi kreditur utama," kata Eswar Prasad, seorang profesor ekonomi di Cornell University dan mantan kepala IMF Divisi China, dilansir Aljazeera, Kamis (15/10/2020).
Prasad melanjutkan, China telah terbukti menjadi anggota yang enggan turut serta dalam upaya meringankan utang multilateral, dengan menempatkan kepentingan ekonomi dan geopolitik di atas pendekatan kolektif.
Mohammed al-Jadaan, Menteri Keuangan Arab Saudi yang memimpin G20 tahun ini mengakui pihaknya masih perlu berbuat lebih banyak. G20 menyatakan perpanjangan program ini memberikan keringanan US$14 miliar bagi negara-negara dengan utang jatuh tempo hingga akhir tahun ini. Sebanyak 46 negara dari 73 yang memenuhi syarat disebutkan telah terbantu DSSI dan selanjutnya diharapkan jumlahnya akan bertambah.
"Kami harus memastikan negara-negara ini mendapat dukungan penuh dalam upaya mengatasi pandemi. Kami telah setuju untuk memperpanjang inisiatif penangguhan pembayaran utang selama enam bulan," katanya.
Baca Juga
Al-Jadaan mengatakan akan ada diskusi lebih lanjut untuk memutuskan apakah penangguhan harus diperpanjang hingga enam bulan lebih lama, seperti yang diusulkan Bank Dunia hingga akhir 2021. Dia mengakui bahwa pandemi mengancam stabilitas fiskal di banyak negara, terutama yang paling miskin.
Transparency International, Amnesty International dan lembaga lainnya telah menyurati para menkeu G20 sebelum pertemuan Rabu, 14 Oktober 2020. Kelompok tersebut memperingatkan bahwa meskipun ekonomi global telah memulai pemulihan bertahap dengan dibukanya kembali bisnis dan perbatasan, pemulihannya tidak merata.
Kelompok-kelompok itu mendesak negara-negara G20 untuk menangguhkan pembayaran utang setidaknya hingga 2021, dengan mengatakan banyak negara termiskin masih membelanjakan lebih banyak untuk pembayaran utang daripada untuk layanan publik yang menyelamatkan jiwa. Beberapa negara, seperti Pakistan, telah menyerukan pembatalan pembayaran hutang secara langsung.
Oxfam International mengatakan perpanjangan penangguhan enam bulan hingga Juni 2021 merupakan upaya paling minimum yang bisa dilakukan G20. Oxfam dan kelompok lain juga meminta pemberi pinjaman swasta dan dana investasi untuk membuat konsesi serupa bagi negara-negara termiskin dengan menangguhkan pembayaran utang.
G20, dalam komunike terakhir, juga mendesak pemberi pinjaman swasta untuk bergabung dengan inisiatif penangguhan hutang. "Kami kecewa dengan tidak adanya kemajuan partisipasi kreditor swasta dalam keringanan utang. Kami sangat mendorong mereka untuk berpartisipasi dengan persyaratan yang sebanding ketika diminta oleh negara yang memenuhi syarat," katanya.
Selain itu, G20 juga terbuka dengan kemungkinan kerangka utang lainnya di luar DSSI. Al-Jadaan mengatakan pertemuan menteri keuangan secara virtual akan digelar bulan depan, sebelum KTT pada 21-22 November 2020. Pertemuan virtual bulan depan beragendakan menyepakati kerangka kerja di luar inisiatif penangguhan utang saat ini.
"Kami menyadari bahwa penanganan utang di luar DSSI mungkin diperlukan berdasarkan kasus per kasus. Dalam konteks ini, kami pada prinsipnya menyetujui Kerangka Umum untuk Penanganan Utang di luar DSSI, yang juga disepakati oleh Paris Club," kata G20 dalam komunikenya.