Bisnis.com, JAKARTA - Negara-negara anggota G20 sepakat untuk memperpanjang inisiatif penangguhan utang hingga paruh pertama 2021. Keputusan itu mengenyampingkan seruan Bank Dunia untuk perpanjangan hingga akhir tahun depan karena pandemi virus corona memperburuk kemiskinan.
G20 dalam komunike yang dikeluarkan oleh Arab Saudi mengatakan akan mengadakan pertemuan luar biasa sebelum para pemimpin berkumpul pada November untuk membahas lebih lanjut keringanan utang. Menurut pernyataan itu, negara anggota kecewa karena kurangnya kemajuan dalam menarik keterlibatan kreditur swasta dalam program itu.
Presiden Bank Dunia David Malpass dalam pernyataannya mendorong kemajuan pesat dalam kerangka utang yang komprehensif karena risiko gagal bayar meningkat. Konsekuensinya di beberapa negara sangat mengerikan.
Bank Dunia menghitung bahwa utang negara-negara miskin yang memenuhi syarat untuk inisiatif keringanan utang luar negeri naik ke rekor US$744 miliar tahun lalu. Negara-negara itu seringkali dipaksa untuk memilih antara membayar hutang atau membelanjakan untuk program sosial dan kesehatan.
"Keringanan pembayaran utang untuk negara-negara termiskin adalah kabar baik, tetapi ini adalah solusi jangka pendek," kata Eric LeCompte, direktur eksekutif Jubilee USA Network, sebuah kelompok nirlaba yang mengadvokasi penghapusan utang untuk ekonomi yang lebih kecil, dilansir Bloomberg, Kamis (15/10/2020).
Dia mengungkapkan kekecewaannya karena G20 belum mencapai kesepakatan yang lebih kuat tentang proses pengurangan utang permanen. Diharapkan G20 mengadakan pertemuan khusus tentang proses itu dalam beberapa minggu mendatang.
Baca Juga
G20 sebelumnya meluncurkan Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (DSSI) pada April lalu untuk memberikan bantuan miliaran dolar bagi 73 negara yang memenuhi syarat. Sejauh ini, lebih dari 40 negara telah mengajukan permohonan bantuan dan menurut rencna awak akan berjalan hingga akhir Desember tahun ini. Bank Dunia memperkirakan negara-negara bisa menghemat US$12 miliar utang kepada kreditur pemerintah tahun ini.
Negara yang memenuhi syarat juga dapat meminta kreditur swasta untuk menangguhkan pembayaran utang, tetapi hanya sedikit yang melakukannya. Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva menyayangkan hal tersebut.
"Sementara itu, negara-negara enggan meminta sektor swasta [menangguhkan utang] karena kekhawatiran yang dapat mengikis akses masa depan mereka ke pasar, akses yang mereka peroleh dengan susah payah di tahun-tahun sebelumnya," katanya.
Malpass telah meminta G20 untuk memperpanjang keringanan utang hingga akhir tahun depan, dan mengatakan bahwa hedge fund dan China harus lebih berpartisipasi. China berkontribusi hampir 60 persen dari utang bilateral yang harus dibayar oleh negara-negara termiskin di dunia tahun ini.
Seruan Malpass mendapat dukungan dari Menteri Keuangan Jerman Olaf Scholz, yang kemarin menyerukan kesepakatan banyak negara yang belum berpartisipasi dalam penangguhan utang.
"China harus menjadi bagian dari solusi," katanya.
Kelompok advokasi seperti European Network on Debt and Development mengatakan bantuan pemerintah saja tidak cukup. Dalam sebuah laporan baru-baru ini, mereka berpendapat bahwa hal itu hanya mendorong risiko krisis utang lebih jauh ke depan.
Kurangnya partisipasi pemberi pinjaman swasta dan multilateral membatasi dampak program. Hanya 24 persen dari pembayaran utang yang jatuh tempo hingga akhir Desember 2020 yang kemungkinan terkena penangguhan.
Memperluas penangguhan hingga paruh pertama 2021 hanya akan mencakup 44 persen pembayaran utang oleh negara-negara yang telah meminta partisipasi.
Jaime Atienza, pakar utang di Oxfam International mengatakan dengan Covid-19 yang memundurkan upaya memerangi kemiskinan selama beberapa dekade ke belakang, menangguhkan utang adalah hal paling minimum yang dapat dilakukan G-20.
"Kegagalan untuk membatalkan pembayaran utang hanya akan menunda tsunami utang yang akan melanda banyak negara termiskin di dunia," kata Atienza.