Bisnis.com, JAKARTA - UU Cipta Kerja tetap mengakomodasi kepentingan buruh dan mengadopsi berbagai hal yang baik dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Demikian disampaikan mantan aktivis yang kini menjadi staf khusus Kementerian Ketenagakerjaan Dita Indah Sari, Rabu (14/10/2020).
"Hal-hal baik yang ada di UU Ketenagakerjaan tentu kita adopsi, dan kita juga perlu mengakomodasi perkembangan zaman supaya aturan ketenagakerjaan tetap relevan," kata Dita.
Ia menjelaskan regulasi tersebut berupaya untuk menjamin buruh-buruh masih menerima hak-haknya ketika melaksanakan kewajibannya, seperti pesangon PHK, status kontrak, cuti, alih daya, hingga pengupahan.
Selain itu, tambah Dita, Omnibus Law ini juga mampu menjawab berbagai isu terkait klaster ketenagakerjaan sesuai dengan perkembangan terkini, mengingat UU sebelumnya sudah berumur hampir 17 tahun.
Salah satunya terkait pesangon bagi karyawan PHK yang saat ini masih merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Dalam UU Cipta Kerja besaran pesangon itu mengalami revisi ke bawah, dari sebelumnya 32 kali gaji menjadi 25 kali gaji.
Baca Juga
"Indonesia ini angka pesangonnya salah satu yang paling tinggi di dunia dan ini tidak berimbang dengan tingkat produktivitas kita. Angka 32 kali gaji ini realisasinya juga tidak ada yang mau menanggung dan tidak banyak yang mampu menjalankan," ujar Dita.
Ia menambahkan UU Cipta Kerja juga memberikan inovasi yang lebih relevan bagi buruh yang terkena PHK yaitu memberikan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan angka yang tidak memberatkan pengusaha.
"Manfaat JKP ini hanya ada di UU Cipta Kerja, angkanya tidak lagi memberatkan pekerja ataupun pengusaha dengan iuran tambahan. Pemerintah akan lakukan rekomposisi iuran yang ada dari BPJS Ketenagakerjaan," kata Dita.
Terkait isu kontrak, Dita menjelaskan bahwa syarat-syarat mengenai pekerja kontrak masih mengadopsi aturan di UU Ketenagakerjaan terutama di pasal 56 dan 59, yang juga disesuaikan dengan perkembangan terkini.
"Kenapa batas maksimal kontrak tidak tercantum lagi? Karena ini akan dicantumkan di Peraturan Pemerintah, nanti supaya ada fleksibilitas. Karakteristik hubungan kerja di tiap sektor kan bisa berbeda-beda," ujarnya.
Dita juga menyampaikan klarifikasi terkait misinformasi soal cuti, terutama bagi para buruh perempuan, karena UU Cipta Kerja tetap mengatur pemberian cuti hamil dan cuti haid.
"Tidak ada penghilangan cuti hamil dan haid. Menteri (Ketenagakerjaan) kita ini perempuan, separuh pekerja kita ini perempuan. Semua tetap ada dan dibayarkan upahnya," kata Dita.
Untuk syarat PHK, Dita memastikan ada empat tahap yang harus dilalui apabila keputusan tersebut benar-benar dilakukan, sehingga pengusaha maupun buruh bisa mendapatkan solusi yang terbaik.
"Pengusaha harus tetap memberi informasi, tidak bisa sepihak. Kalau pekerja tidak setuju, harus ada perundingan yang bisa didampingi serikat pekerja. Jika tidak sepakat, pemerintah harus mediasi. Kalau tidak selesai juga, baru masuk jalur hukum," ujarnya.
Dita juga mengatakan tiap-tiap daerah masih bisa menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sesuai penghitungan inflasi maupun pertumbuhan ekonomi, meski tidak diwajibkan.
"Kalau UMP-nya dianggap sudah mewakili, tidak perlu. Tiap daerah punya karakteristik yang berbeda-beda, kalau mayoritas pekerjanya di UMKM, harus disesuaikan. Makanya pilihan katanya dapat, bukan wajib," kata Dita.
Secara keseluruhan, Dita mengatakan pemerintah akan mengakomodasi beberapa hal yang belum detail dalam UU Cipta Kerja melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) dengan melibatkan serikat pekerja.
"Setidaknya ada tiga sampai empat PP yang akan kita bahas. Tentang pengaturan ketenagakerjaan yang isinya soal kontrak, outsource, dan lainnya, PP tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan, dan PP tentang pengupahan," katanya.