Bisnis.com, JAKARTA – Kasus Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, tak luput anak-anak juga menjadi korban. Banyak pelayanan kesehatan, khususnya untuk ibu dan anak tak bisa beroperasi, sehingga bisa mengancam kesehatan 25 juta anak Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 30 September 2020, positivity rate Indonesia sebesar 14,4 persen, jauh di atas standar aman WHO sebesar 5 persen. Sementara itu, data kasus positif Covid-19 pada anak usia 0 -5 tahun sebanyak 2,5 persen dan usia 6-18 tahun sebanyak 7,6 persen.
Sementara itu, berbagai kota melaporkan bahwa penanganan kasus telah mencapai kapasitas maksimum rumah sakit-rumah sakit rujukan Covid-19. Selain itu, peningkatan transmisi Virus Corona terjadi di kalangan tenaga kesehatan, bahkan hingga gugur.
Selama pandemi Covid-19 sebanyak 83,9 persen pelayanan kesehatan dasar tidak bisa berjalan dengan optimal terutama Posyandu. Banyak ibu hamil tidak mendapatkan pelayanan antenatal yang memadai.
“Situasi ini terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal ini memberikan dampak sangat besar pada pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya pada pelayanan kesehatan ibu dan anak,” ungkap Ketua Umum PB IDI Daeng M. Faqih dalam koferensi pers, Kamis (1/10/2020).
Pasalnya, dikhawatirkan kondisi masyarakat, khususnya kelompok rentan yang terabaikan justru berpotensi menimbulkan beban ekonomi yang lebih besar di masa yang akan datang.
Baca Juga
Daeng juga menjelaskan bahwa pelayanan fasilitas kesehatan yang terdampak pandemi, termasuk layanan Posyandu, dapat mengakibatkan 25 juta balita tidak memperoleh imunisasi, suplementasi vitamin A, pemantauan tumbuh kembang dan pelayanan rutin lainnya yang sangat diperlukan.
“Dampak pada anak ini mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar pada keluarga, daerah dan negara untuk jangka waktu pendek maupun panjang. Kasus anak di Indonesia yang terinfeksi Covid-19 per 10 Agustus 2020 sudah men mencapai 3.928 anak, dan meninggal sebanyak 59 anak yang merupakan kasus tertinggi di Asia,” jelasnya.
Selain itu, kasus Covid-19 pada ibu hamil dan dampak terhadap pelayanan pemantauan kehamilan memicu kenaikan angka kehamilan dengan komplikasi.
“Jika hal ini tidak mendapatkan perhatian serius dan terjadi dalam waktu 1 tahun, maka pengawasan terhadap ibu hamil dengan risiko tinggi tidak dapat dilakukan dengan baik, kemungkinan terjadi kematian ibu yang lebih tinggi dari 25 persen akibat kehamilan dengan hipertensi [preeklamsia],” imbuhnya.
Oleh karena itu, Pengurus Besar IDI, PP IAKMI (Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia), DPP PPNI (Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia), PP IBI (Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia) dan GKIA (Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak) menyampaikan seruan nasional agar penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta pelayanan kesehatan dasar tetap menjadi prioritas utama.
“Sebagaimana rekomendasi WHO agar pelayanan kesehatan esensial tetap terselenggara. Pemerintah Daerah perlu memikirkan melakukan pemisahan layanan Puskesmas dan klinik yang dikhususkan bagi ibu hamil, bayi dan balita terpisah dari layanan pasien dengan Covid-19 sehingga masyarakat tidak ragu untuk datang memeriksakan diri. Demikian juga dengan Posyandu harus segera dibuka dengan mematuhi Panduan Operasional,” jelas Daeng.
Posyandu dalam Adaptasi Kebiasaan Baru yang telah disiapkan oleh Kementerian Kesehatan. Dengan demikian, hal ini akan memudahkan dan memperluaskan akses bagi pelayanan kesehatan ibu dan anak.