Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Konvensi Sablon Independen (AKSI) Bekasi Raya menilai bahwa langkah Kemenperin merumuskan rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk masker kain adalah bentuk upaya mematikan industri konveksi kecil dan menengah di Tanah Air.
Bahkan, menurut Ketua Asosiasi Konveksi dan Sablon Independent (AKSI) Bekasi Raya Hendro, langkah itu menjadi salah satu tolak ukur negara tidak serius dalam memperkuat sektor usaha kecil dan menengah sebagai benteng ekonomi di tengah pandemi.
“Sejatinya, pelaku usaha konveksi kecil dan menengah pasti keberatan dengan regulasi masker berlabel SNI. Ya, karena recoverynya kedepan akan semakin berat dengan keterbatasan modal yang dimiliki. Terlebih di tengah pandemi.” tegas Hendro, Rabu (30/9/2020).
Hendro menerangkan, hampir tujuh bulan dari awal munculnya kasus pandemi covid 19 di Depok, beberapa usaha kecil dan menengah mulai banyak bertumbangan, khususnya industri konveksi dan sablon.
Hal itu disebabkan pelbagai faktor. Diantaranya menurunnya tingkat permintaan dan sulitnya akses bahan baku karena hampir semua supplier mengikuti anjuran pemerintah menutup tokonya, untuk meminimalisir penyebaran virus corona.
Tak pelak, industri konveksi cukup terpukul atas kehadiran covid 19, bahkan banyak dari beberapa pelaku usaha yang ambruk.
Baca Juga
"Beruntung, kelangkaan masker dan alat pelindung diri (APD) menjadi satu momentum usaha konveksi kecil dan menengah untuk dapat kembali bangkit," ujarnya.
Dan seperti diketahui, jika di beberapa kota banyak komunitas konveksi dan sablon melakukan kegiatan sosial dalam memproduksi masker dan APD untuk membumikan kembali masker sehingga kelangkaan tersebut dapat diatasi.
Ditambah, lanjutnya, pemerintah juga mulai menginstruksikan usaha konveksi kecil untuk terus melakukan produksi masker sebagai upaya pencegahan penyebaran pandemi covid 19.
"Fakta tersebut merupakan satu kenyataan jika usaha konveksi kecil dan menengah menjadi satu-satunya benteng dalam menjaga pencegahan penyebaran covid 19 dan sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi nasional," ujarnya.
Pasalnya, tanpa proses produksi yang dilakukan oleh industri konveksi rumahan tersebut tentu akan lebih bertambah jumlah pengangguran di tengah pandemi.
"Terlebih, beberapa perusahaan besar juga telah melakukan PHK massal terhadap para pekerjanya," tegasnya.
Namun, lanjut Hendro, belakangan ini industri konveksi kecil dan menengah dikagetkan dengan rencana pemerintah melalui Kementerian Perindustrian yang tengah menyusun rumusan regulasi penetapan masker kain Standar Nasional Indonesia (SNI) dan telah diusulkan dalam Program Nasional Perumusan Standar (PNPS).
SNI adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) Indonesia.
Rahmat, Pemilik Alatas Indoprint, menilai rencana penetapan masker berlabel SNI akan mempersulit gerak konveksi kecil dan menengah, di tengah menurunnya permintaan pembuatan kaos dan seragam sekolah.
Pasalnya, lanjut dia, dalam SNI terdapat klausul-klausul yang mesti dilakukan oleh pelaku usaha kecil untuk mendapatkan label tersebut.
“Persoalan berikutnya, setelah masker berlabel SNI maka mau tidak mau ketersediaan bahan baku juga mesti sesuai standar. Jelas, regulasi ini justru mempersempit langkah usaha konveksi kecil dan menengah untuk bertahan ditengah pandemi,” tegas pelaku usaha konveksi dan sablon di Jatikramat Bekasi Selatan ini.
Sekadar informasi, untuk mendapatkan label SNI dinilai cukup rumit bagi pelaku usaha konveksi kecil dan menengah.
Pasalnya, dalam mengisi formulir permohonan SPPT SNI juga mesti mengumpulkan dokumen-dokumen seperti fotokopi sertifikat manajemen mutu ISO 9001 : 2000 yang dilegalisasi oleh Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM) dan Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Hal senada diakui Ivan, pemilik usaha konveksi dan sablon di Mustikajaya Bekasi. Dia menjelaskan bahwa regulasi ini rentan dalam mengerdilkan keberadaan usaha konveksi kecil dan menengah yang tengah berjuang melewati penurunan permintaan ditengah pandemi.
Tak hanya itu, owner Dealer Badjoe ini juga mempertanyakan ambiguitas pemerintah dalam mendorong masker berlabel SNI. Pasalnya, produk-produk kesehatan lainnya seperti Hand Sanitizer (HS), pakaian Hazmat tidak dilabelkan SNI.
“Rencana Kemenperin terlihat ambigu. karena yang dilabelkan hanya produk masker. Bukankah ini hanya akan memunculkan monopoli produk masker di pasaran yang hanya bisa diproduksi pemodal-pemodal besar,” tegas Ivan.
Hendro, Ketua AKSI Bekasi Raya menyatakan bahwa konsep rumusan regulasi pelarangan masker kain yang tidak berlabel SNI menjadi catatan merah bagi pemerintah dalam menyelesaikan persoalan kesehatan dan ekonomi nasional.
Pasalnya, jika melihat dari bulan maret justru sebagian besar usaha konveksi kecil dan menengah yang telah memberikan dampak besar bagi pencegahan penyebaran covid 19.
Ditambah, usaha konveksi kecil dan menengah juga telah berhasil menjadi benteng ekonomi dalam mencegah lonjakan PHK di tengah pandemi.
Menurut Hendro, seharusnya Kemenperin melakukan komunikasi terlebih dahulu dengan Kemenkop UMKM terkait rencana melabelkan masker berstandar SNI.
Pasalnya, Kemenkop UMKM juga wajib memberikan akses informasi dan kemudahan untuk usaha konveksi kecil dan menengah dalam mengurus pendaftaran SNI.
Seperti mendorong usaha konveksi kecil yang belum berkoperasi harus segera koperasi sehingga pendaftaran produk masker bisa diwakili oleh koperasi-koperasi yang riil yang bergerak pada jasa produksi.
Dengan demikian, atas nama pelaku usaha konveksi dan sablon Independent di wilayah Bekasi Raya, AKSI bersikap; Pertama meminta penegakan keadilan ekonomi bagi pelaku usaha kecil dan menengah.
Kedua, Kemenperin dan Kemenkop UMKM mesti berpihak pada pelaku usaha kecil dan menengah terkait rencana pelabelan SNI pada produk masker.
Ketiga, menolak monopoli komoditas di tengah pandemi. Keempat, menolak rencana regulasi penetapan masker berlabel SNI yang mempersempit ruang gerak usaha kecil dan menengah.
Kelima, mendukung urgensi terlaksananya secara maksimal 3 M : Menggunakan masker, Mencuci tangan, dan Menjaga jarak (Social distancing).