Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), sebagai bagian dari masyarakat sipil memberikan apresiasi kepada Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI) dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) yang berhasil memukul mundur kapal China di Perairan Natuna.
Sebelumnya, KN Nipah dan KRI Imam Bonjol 383 dikerahkan untuk menghalau (shadowing) kapal China Coast Guard (CCG) 5204 yang berada di dalam Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sejak hari Sabtu, 12 September 2020 dan keluar dari wilayah tersebut pada hari Senin tanggal 14 September 2020.
Berdasarkan catatan Bisnis, KN Nipah mulai melakukan pencegahan masuknya CCG 5204 ke perairan Natuna dengan meningkatkan kecepatannya dan mengubah haluan melaksanakan intersep hingga jarak 1 nautical miles (Nm).
KN Nipah kemudian berkomunikasi dengan kapal Coast Guard China terkait kegiatan mereka di perairan tersebut. Kapal CCG 5204 bersikeras bahwa mereka sedang berpatroli di area nine dash line yang merupakan wilayah teritorial Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Menurut personel KN Pulau Nipah - 321 bahwa berdasarkan UNCLOS 1982 tidak diakui keberadaan nine dash line, dan CCG 5204 sedang berada di area ZEEI. Oleh karena itu, CCG 5204 diminta segera keluar dari wilayah yurisdiksi Indonesia.
Kedua kapal sempat saling membayang-bayangi satu sama lain. KN Nipah 321 terus berupaya menghalau CCG 5204 keluar dari ZEEI sampai akhirnya pada 14 September 2020 Kapal CCG 5204 keluar dari ZEEI .
Andreas Aditya Salim Senior Researcher IOJI mengungkapkan bahwa instansi-instansi keamanan laut Indonesia perlu untuk terus mewaspadai keberadaan kapal-kapal ikan atau kapal China lainnya di Laut Natuna Utara, khususnya di wilayah yang berbatasan langsung dengan laut lepas (high seas) South China Sea.
“Agar hak berdaulat [sovereign rights] Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen [LK] tidak dilanggar. Hak berdaulat Indonesia adalah hak atas sumber daya kelautan baik yang hidup maupun yang tidak hidup yang berada di kolom air laut maupun dasar laut dan tanah dibawahnya yang bersifat eksklusif bagi Indonesia,” jelas Andre melalui keterangan resmi, dikutip Bisnis Senin (21/9/2020).
Selain Laut Natuna Utara, pemerintah RI juga perlu mewaspadai potensi penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) pada ZEEI yang berbatasan dengan Samudera Pasifik, yaitu Wilayah Pengelolaan Perikanan 716 dan 717.
“Bakamla RI, TNI-AL dan Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP] perlu menyusun Strategi dan Rencana Operasi Bersama [SROB] untuk menjaga wilayah yurisdiksi Indonesia terutama yang berbatasan langsung dengan Laut Lepas maupun wilayah yurisdiksi negara lain,” imbaunya.
Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal perlu diberdayakan untuk memperkuat kerjasama dan koordinasi antar instansi yang memiliki kewenangan penegakan hukum di bidang perikanan.
Selain itu, mengingat luasnya wilayah yang dijaga dan diawasi yang berakibat pada besarnya biaya operasional, serta beban APBN yang saat ini penggunaannya difokuskan untuk penanganan pandemi Covid-19, SROB dinilai menjadi elemen yang sangat penting.
SROB diperlukan agar tugas pengawasan dapat terdistribusi dengan merata dan berkesinambungan dengan didukung berbagai teknologi pengawasan antara lain: citra satelit, radar, pesawat maritime surveillance, pemantauan AIS/VMS, dan lain-lain.