Bisnis.com, JAKARTA - Prospek industri herbal dan jamu diproyeksikan bakal mengalami pertumbuhan pesat, baik di pasar domestik maupun global.
Namun sayangnya peluang itu belum dapat dimanfaatkan maksimal, meskipun Indonesia mempunyai varietas bahan baku untuk produk jamu dan herbal terbesar di dunia.
Wakil Ketua DPR-RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel mengatakan menilai bahwa peluang membajak momentum sektor industri ini untuk menjadi salah satu primadona di pasar domestik maupun ekspor, masih belum optimal.
“Ibaratnya, industri herbal dan jamu di Indonesia seperti primadona yang belum dilirik. Industri di sektor ini masih terabaikan oleh berbagai pihak terkait," ujarnya melalui siaran resmi yang dikutip Bisnis, Rabu (16/9/2020).
Menurutnya, saat tren dunia kian mengarah ke produk herbal, industri herbal dan jamu nasional masih belum bisa berkembang sesuai dengan potensi sesungguhnya.
Menurut mantan Menteri Perdagangan tersebut, omzet produk herbal dan jamu di pasar global saat ini diperkirakan sudah mencapai sekitar US$138,350 miliar.
Sekitar 55 persen diantara produk tersebut berupa obat-obatan herbal (herbal pharmaceuticals), sedangkan sisanya berupa produk herbal functional foods, herbal dietary supplements dan herbal beauty products.
"Dalam lima tahun ke depan dengan perkiraan pertumbuhan 6,7 persen per tahun, omzet pasar produk tersebut pada tahun 2026 tersebut diproyeksikan mencapai sekitar US$218,94 miliar," ujarnya.
Sementara itu, data yang bisa dikutip dari Kementerian Perindustrian, potensi nilai penjualan jamu di pasar domestik baru sekitar Rp20 triliun dan ekspor sebesar Rp16 triliun.
Menurutnya dengan capaian sebesar itu maka kontribusi produk jamu dan herbal lainnya dari Indonesia di pasar global sangat kecil.
Saat ini ada sekitar 900 pelaku industri herbal dan jamu yang tergabung dalam GP Jamu. Dari jumlah itu, sekitar 65 persen dari total pelaku adalah usaha yang masuk dalam kategori industri kecil, 30 persen usaha menengah, dan sisanya 5 persen merupakan usaha besar.
Dari sisi produksi, 45 persen masuk dalam kategori jamu serbuk peninggalan leluhur, 55% merupakan jamu terstandar atau Obat Herbal Terstandar (OH) seperti jamu cair, jamu kapsul, minuman jamu.
Sedangkan jamu yang tergolong fitofarmaka atau jamu modern yang sudah lewat uji klinis baru mencapai 5 persen. Data ini menggambarkan, pengembangan produk herbal dan jamu nasional masih sangat terbatas.
Sementara untuk meningkatkan standar produk herbal dan jamu, sejak 2011 BPOM sebagai lembaga yang berwenang mengawasi obat dan makanan telah mengeluarkan aturan berupa Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB).
Tujuannya antara lain meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk obat tradisional Indonesia dalam menghadapi persaingan global. Namun langkah meningkatkan standar mutu produk herbal dan jamu juga perlu diikuti oleh pengembangan produk sejalan dengan kian beragamnya kebutuhan dan konsumen.
Sebagai gambaran, China yang hanya memiliki 13.000 jenis herbal mampu membuat lebih dari 10.000 resep obat herbal. Namun di Indonesia, resep ini masih terbatas.
“Indonesia perlu lebih agresif mengembangkan penelitian terhadap tanaman dan bahan baku herbal yang bisa dimanfaatkan pelaku industri mengembangkan produknya," ujarnya.
Oleh sebab itu, tegasnya, ke depan, kerjasama balai penelitian dan pengembangan milik pemerintah, perguruan tinggi maupun pelaku industri menjadi sangat penting dan strategis, agar nilai tambah sumber daya alam yang merupakan anugerah Sang Pencipta ini semakin meningkat dan tidak menjadi sia-sia.
Apalagi, lanjut Rachmat, sebagian besar pelaku industri herbal dan jamu adalah tergolong industri kecil yang tidak mungkin melakukan riset sendiri.
"Mereka ini perlu dibantu melalui berbagai program pemberdayaan, termasuk membuka akses yang selebar-lebarnya terhadap berbagai hasil riset dan pengembangan tanaman herbal dan jamu," ujarnya.
Meski begitu, pihaknya masih optimis, industri jamu dan produk herbal Indonesia ke depan dipastikan semakin prospektif di pasar domestik, regional, maupun global.
"Ceruk pasar sektor industri berbasis kearifan lokal ini kian terbuka terbuka lebar, terutama di era pandemi Covid-19 yang belum berakhir untuk memasuki tatanan kehidupan baru dunia," ujarnya.
Menurutnya peluang pengembangan semakin besar karena respon masyarakat terhadap produk jamu atau tanaman obat dan produk herbal terus meningkat.
Oleh karena itu, pelaku di sektor industri jamu dan herbal juga sesegera mungkin berbenah diri melakukan adaptasi pasar dan proses produksi sesuai dengan standar kesehatan.
Para pelaku industri jamu dan herbal di era industri 4.0 harus mampu menangkap gaya hidup baru konsumen yang menginginkan produk sehat. Dengan demikian mendorong produsen melakukan proses produksi sesuai CPOTB juga menjadi sangat penting.
“Saya berharap pelaku industri jamu dan produk herbal segera melakukan berbagai terobosan. Hal ini untuk menjaga pasar, meremajakan mesin teknologi, membangun kompetensi layak bank, meningkatkan kualitas SDM, dan mendapatkan sertifikasi industri terstandar," jelasnya.
Menurutnya jika semua ini dilakukan secara bertahap dan terencana, industri jamu Indonesia berpotensi besar berada di jajaran produk-produk primadona ekspor.
"Produk jamu dan herbal Indonesia akan sejajar berada di level pelaku industri dunia, bersama China, Korsel, dan India,” katanya.