Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hari Radio Nasional, Menengok Peran RRI dan Upaya Mempertahankan Kedaulatan Indonesia

Sebelum Indonesia meraih kemerdekaan, radio telah menjadi alat komunikasi utama.
Direktur Utama RRI Muhammad Rohanudin/istimewa
Direktur Utama RRI Muhammad Rohanudin/istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Mungkin masih banyak yang belum mengetahui bahwa 11 September setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Radio Nasional atau disebut juga sebagai Hari Radio Republik Indonesia (RRI).

Disebut demikian lantaran tanggal peringatannya diambil dari hari kelahiran RRI pada 11 September 1945. Berbicara mengenai kelahiran RRI, tentunya tak bisa dilepaskan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang kala itu masih seumur jagung.

Radio yang dikenal dengan slogan "sekali di udara, tetap di udara" itu mengudara pertama kali menggunakan peralatan milik radio Jepang, Hoso Kyoku. Tujuan utamanya adalah menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas bahwa Indonesia sudah merdeka dan menjadi negara yang berdaulat penuh.

Abdurahman Saleh bersama dengan tujuh orang rekannya, yakni Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Harto, dan Maladi menjadi tokoh yang mempelopori lahirnya RRI.

Mereka adalah tokoh yang mendesak Pemerintah Indonesia untuk memilih radio sebagai alat komunikasi utama. Alasannya sederhana, selain peralatannya sudah ada dan cepat, radio juga tidak mudah terputus andaikata terjadi pertempuran.

Ya, tak dapat dipungkiri jika RRI kala itu hadir sebagai salah satu antisipasi mendaratnya sekutu ke Tanah Air pada akhir September 1945.

Namun, peran RRI dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tak sampai disitu saja. Menurut Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI Muhammad Rohanudin, RRI kembali mengambil perannya pada saat terjadi Agresi Militer Belanda II pada 1949.

Kala itu, seluruh pemancar milik RRI yang ada di sejumlah daerah hancur dibombardir oleh Belanda. Tentunya hal tersebut membuat komunikasi antarwilayah di Indonesia maupun antarnegara terputus.

Kondisi tersebut tentunya dimanfaatkan oleh Belanda menggunakan pemancar radio berdaya 350 KW yang mereka miliki untuk menyebarkan ke seluruh dunia bahwa Indonesia sudah berhasil mereka taklukan.

Namun, bukan berarti perlawanan menggunakan radio terhenti begitu saja. Berbekal pemancar radio yang berhasil diselundupkan dari Singapura (d/h Malaya), lahirlah Radio Rimba Raya.

Sesuai dengan namanya, radio tersebut berada di tengah hutan belantara untuk menghindari serangan kembali oleh militer Belanda.

"“Radio Rimba Raya yang pemancarnya ada di Bener Meriah, Aceh dengan siaran shortwave atau gelombang pendeknya tak berhenti menyuarakan bahwa Indonesia masih ada ketika Agresi Militer Belanda II," kata Rohanuddin ketika ditemui oleh Bisnis di kantornya pada Kamis (10/9/2020).

Rohanudin menjelaskan pemancar radio itu ditempatkan di dalam jurang. Antenanya dipasang di atas pohon. Kabel penghubung pemancar dengan antena ditanam dalam tanah supaya tak digerogoti binatang liar.

Salah satu bekas antena radio tersebut bahkan, masih dapat ditemukan di tengah Hutan Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Aceh Tengah (Aceh) atau 280 kilometer tenggara Banda Aceh.

Siarannya dilakukan dalam banyak bahasa oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibawah komando Syafruddin Prawiranegara.

"[Siarannya] dalam banyak bahasa ke seluruh dunia, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, bahkan hingga Bahasa Urdu. Jangkauannya ke seluruh dunia, terdengar sampai Den Hag, Belanda," tutur Rohanudin.

Siaran Radio Rimba Raya disiarkan ke seluruh dunia pada 23 Agustus hingga 2 Nopember 1949. Siaran RRR inilah yang menjadi dasar digelarnya pertemuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda yang akhirnya menyatakan bahwa Indonesia sepenuhnya berdaulat.

"Radio Rimba Raya merupakan penyelamat bagi Indonesia karena berhasil membantah pernyataan bahwa Indonesia menyerah kepada Belanda yang dilontarkan oleh Radio Hilversum Belanda," tegas Rohanudin.

Lebih lanjut, menurut Rohanudin Radio Rimba Raya merupakan cikal bakal dari Stasiun Siaran Luar Negeri (SSLN) RRI/Voice of Indonesia (VOI) yang kini mengudara dalam sembilan bahasa, yakni Bahasa Indonesia, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Jepang, Mandarin, Arab, dan Belanda.

VOI saat ini masih mengudara menggunakan gelombang pendek di frekuensi 3325 kHz yang dipancarkan oleh pemancar 10 kHz di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Selain itu, siaran VOI juga mengudara melalui aliran langsung (live streaming) di situs www.rri.co.id, www.voinews.id, aplikasi RRI Play, dan kanal YouTube voiindonesia.

Baik Radio Rimba Raya maupun VOI mengudara dengan semangat yang sama, yakni menyuarakan eksistensi Indonesia ke seluruh dunia atau berperan sebagai agen diplomasi publik.

Oleh karena itu, program yang disiarkan oleh VOI sepenuhnya bertujuan untuk memperkenalkan sekaligus menjaga citra positif Indonesia kepada dunia.

Kemudian yang tak kalah penting adalah melayani diaspora Indonesia. Lewat siaran VOI, diharapkan mereka bisa terhubung serta mengobati rindunya dengan kampung halaman nun jauh di sana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rezha Hadyan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper