Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai perlu melarang secara eksplisit wakil menteri merangkap jabatan komisaris atau direksi badan usaha milik negara atau BUMN.
Ketika memutus pengujian materi UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara pada 27 Agustus 2020, MK tidak bersedia menghapus pengaturan pengangkatan wakil menteri.
Kendati demikian, lembaga penafsir UUD 1945 tersebut menyatakan dalam pertimbangan hukum Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 bahwa wakil menteri seharusnya tidak boleh merangkap posisi komisaris atau direksi BUMN.
Pendapat MK tersebut bersandarkan Pasal 23 UU 39/2008 yang melarang menteri menyambi kerja di perusahaan pelat merah. Jika menteri saja dilarang rangkap jabatan, semestinya wakil menteri turut terkena kewajiban itu mengingat beban kerja menjadi justifikasi pengangkatan pembantu menteri tersebut.
Menyadari kurang kuatnya pendapat hukum MK tersebut, seorang pengacara bernama Viktor Santoso Tandiasa menggugat kembali UU No. 39/2008. Viktor adalah kuasa hukum dari pemohon pengujian norma wakil menteri yang sebelumnya dimentahkan MK.
“Pemohon merasa dengan tidak dimuatnya penegasan Mahkamah dalam amar putusan menimbulkan perbedaan pendapat dan sikap memaknai Pasal 23 UU 39/2008,” kata Yohanes Mahatma Pambudianto, kuasa hukum Viktor, dalam berkas permohonan yang dikutip Bisnis.com, Rabu (9/9/2020).
Yohanes berpandangan pendapat hukum MK tetap bersifat mengikat kendati dimuat dalam bagian pertimbangan hukum. Karena itu, menurut dia, keengganan pemerintah untuk mencopot wakil menteri dari BUMN menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Ketidakpastian hukum bertentangan dengan jaminan yang diberikan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai salah satu syarat utama tegaknya negara hukum,” ujar Yohanes.
Pemohon meminta MK memaknai kata ‘menteri’ dalam Pasal 23 UU 39/2008 termasuk juga ‘wakil menteri’. Dengan demikian, larangan rangkap jabatan komisaris atau direksi BUMN dan posisi lainnya otomatis berlaku pula bagi wakil menteri.