Bisnis.com, JAKARTA – Bagaimana perasaan Anda sebagai rakyat kecil di sebuah negara di zaman susah ketika mengetahui ada undian atau kuis berhadiah uang tunai yang diselenggarakan oleh sebuah korporasi besar ternyata dimenangkan oleh sang presiden?
Ini bukan isapan jempol atau hoax. Ini dunia politik nyata. Jauh kejadiannya. Bukan di Indonesia.
Pada Januari 2000 di kota Harare, pusat pemerintahan Zimbabwe, pembawa acara kondang dunia hiburan negeri itu, Fallot Chawawa bersiap mengumumkan pemenang gebyar undian berhadiah yang digelar oleh Zimbank (Zimbabwe Banking Operation), bank yang sebagian sahamnya dikuasai pemerintah negara itu.
Undian tersebut terbuka untuk semua nasabah yang memiliki saldo rekening sebesar 5.000 dolar Zimbabwe atau lebih di bank itu selama Desember 1999.
Menjelang nama pemenang undian diumumkan, Chawawa terlihat kaget bukan kepalang. Dia sontak tertegun ketika membaca nama sang pemenang undian sebesar 100.000 dolar Zimbabwe adalah Yang Mulia Robert Mugabe.
Presiden Mugabe memerintah dengan tangan besi sejak 1980. Besarnya nilai undian yang dia peroleh sekitar lima kali rata-rata pendapatan per kapita tahunan di negara Afrika tersebut.
Pihak Zimbank pun menyatakan secara resmi bahwa Mugabe-lah pemenangnya dari sekian ribu nasabah bank itu. Sedang mujurkah Sang Presiden?
Undian berhadiah yang dihelat Zimbank itu dinilai mengindikasikan betapa rakusnya institusi politik-ekonomi di negara tersebut.
“Orang bisa menyebutnya sebagai korupsi, namun yang jelas kasus itu menunjukkan adanya penyakit kronis yang menjangkiti berbagai institusi pemerintahan di sana,” ujar Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nations Fail. The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012).
Era Mugabe sudah berlalu. Dia berkuasa selama 37 tahun. Meninggal pada 6 September 2019 di sebuah rumah sakit yang sangat jauh dari negaranya, yaitu di Singapura pada usia 95 tahun.
Kini negara itu dipimpin oleh Emmerson Mnangagwa. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan politisi tersebut setelah hampir empat dekade kekuasaan pendahulunya.
Bisa jadi membangun demokrasi yang sesuai harapan rakyat menjadi pekerjaan rumah yang paling menantang setelah penerapan sistem pemerintahan satu partai ala Mugabe.
Belum lagi masalah menegakkan aturan main sesuai prinsip tata kelola yang baik di lingkungan institusi, kementerian, dan lembaga di salah satu negara Afrika tersebut.
Apa yang dialami Zimbabwe acap terlihat pula di banyak negara lain yang tengah bertarung atau menghadapi berbagai persoalan mendasar bangsa seperti kemiskinan, korupsi kronis, ketimpangan, kesenjangan hingga penguasa politik.
Jalan dan proses menuju harapan yang lebih baik jelas bukan perkara mudah. Banyak yang harus melalui jalan berliku dengan medan berat. Rakyat kecil hidup bak di roller coaster.
Ketidakpastian dan tanda tanya besar selalu muncul. Sudah tepatkah pilihan yang dituju? Mampukah penguasa dan pemerintahan yang dibentuknya membangun confidence dan trust, sehingga rakyat mempunyai harapan?
Seperti dikemukakan Acemoglu dan Robinson, banyak kontras dan anomali ketika kita membicarakan ketimpangan dan kesenjangan antar negara. Mengapa di era globalisasi ini masih ada negara yang kaya dan, pada sisi lain, negara yang miskin?
Begitu pula dengan persoalan lainnya, mengapa kesenjangan pendapatan dan sosial antara negara kaya dan miskin bisa sangat fantastis?
Adakalanya perbedaan tersebut sangat dekat secara geografis tetapi substansinya amat jauh berbeda.
Sebut saja misalnya Korea Utara dan Korea Selatan. Atau di ujung selatan wilayah Amerika Serikat, ada sebuah kota bernama Nogales yang terbelah oleh bentangan pagar tapal batas. Satu wilayah milik Santa Cruz County, Arizona. Adapun belahan lainnya milik pemerintah daerah Sonora, Meksiko.
Sungguh tak mudah bagi rakyat kebanyakan untuk memegang kedaulatan politik dan menciptakan perubahan sosial. Namun hal itu bukan sesuatu yang mustahil.
Bisakah melalui transformasi politik ‘biasa-biasa saja’ atau memang harus yang bersifat extra ordinary?