Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pertamina Merugi, Ahok Dicecar Warganet & Segera Dipanggil DPR

Selisih kurs, kata Pertamina, menjadi salah satu penekan kinerja perseroan pada paruh pertama tahun ini. Perseroan juga menghadapi persoalan dari sisi penjualan dan fluktuasi harga minyak global.
BASUKI TJAHAJA PURNAMA. Antara
BASUKI TJAHAJA PURNAMA. Antara

Bisnis.com, JAKARTA — Rapor merah PT Pertamina (Persero) menjadi sorotan warget net atau netizen di jagat maya belakangan ini.

Ketika membicarakan Pertamina saat ini seperti melekat dengan sosok Komisaris Utama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang digadang-gadang dipilih untuk memperbaiki kinerja Pertamina.

Alih-alih membaik, kata warganet, Pertamina justru berbalik rugi pada periode kurang lebih 7 bulan setelah Ahok masuk ke lingkaran BUMN migas nasional itu.

Kinerja Pertamina pada paruh pertama tahun ini berbalik merugi US$761,23 juta atau sekitar Rp10,85 triliun (kurs 30 Juni Rp14.265).

Pertamina membukukan pendapatan US$20,48 miliar pada semester I/2020. Jika dibandingkan dengan pendapatan pada periode yang sama tahun lalu sebesar US$25,46 miliar, artinya sepanjang 6 bulan tahun ini jumlah pendapatan Pertamina menyusut 19,56 persen.

Seiring dengan penurunan pendapatan, Pertamina terlihat melakukan efisiensi dengan melakukan pemangkasan beban. Tercatat beban pokok penjualan dan beban langsung menyusut dari US$21,98 miliar menjadi US$18,87 miliar atau mencapai 14,13 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) sehingga secara operasi, sepanjang periode 6 bulan pertama tahun ini, Pertamina membukukan laba kotor US$1,60 miliar. Capaian itu turun 54,87 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya US$3,56 miliar.

Kerugian muncul seiring selisih kurs yang harus ditanggung perseroan. Pada tahun lalu, pos nilai tukar ini menghasilkan pendapatan US$64 juta. Akan tetapi, pada semester I/2020 pos nilai tukar memberi kerugian US$211,83 juta. Dampaknya perusahaan membukukan rugi sebelum pajak penghasilan sebesar US$58,3 juta.

Kerugian Pertamina membesar setelah dimasukkan pajak penghasilan sebesar US$702,93 juta. Dengan penambahan pos pajak ini, maka rugi tahun berjalan perseroan menjadi US$761,23 juta.

Jumlah kerugian makin menumpuk setelah dilakukan perhitungan penyesuaian pendapatan dari entitas anak. Pos ini memberi tambahan kerugian sebesar US$164,71 sehingga dengan capaian ini, total kerugian komprehensif Pertamina menjadi US$925,95 juta. Padahal, periode yang sama tahun sebelumnya, Pertamina mencatatkan laba US$627,84 juta.

Kabar tersebut menjadi perbincangan di jagat media sosial Twitter. Nama Ahok sempat menjadi trending topic pada beberapa waktu lalu.

Berbagai respons netizen terkait dengan kabar meruginya Pertamina bermuncul, salah satunya seperti yang dicuitkan oleh akun @rie_sang.

"Shame on you Ahok," cuit @rie_sang.

Sementara itu, tanggapan lainnya muncul dari akun @tasianaffairs.

"Before #Ahok came, #Pertamina was still able to generate profits. Ahok came in, Pertamina collapsed," cuitnya.

Selain itu, memerahnya kinerja Pertamina menjadi perhatian para anggota DPR. Bahkan, Pertamina akan segera dipanggil untuk menghadap wakil rakyat itu.

Wakil Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengatakan bahwa pihaknya akan segera memanggil Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok serta jajaran direksi.

Mereka akan dipanggil DPR untuk membahas kerugian yang dialami perusahaan itu hingga Rp11 trilun selama semester pertama tahun ini.

"Dalam rapat dengar pendapat minggu depan kami minta penjelasan bagaimana mereka mengantisipasi kinerjanya, termasuk apa saja yang menjadi daya dukung dan daya dorong agar kinerjanya pulih,” ujar Eddy melalui siaran pers, Rabu (26/8/2020).

Anggota Komisi Energi DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto sebelumnya mengusulkan agar Ahok dicopot dari jabatannya sebagai Komisaris Utama Pertamina.

Usulan ini datang setelah perusahaan pelat merah tersebut rugi hingga US$767,90 juta atau sekitar Rp11 triliun sepanjang semester I 2020.

"Jika memang tidak mampu, pecat saja!" kata Mulyanto dalam akun media sosial pribadinya.

TRIPLE SHOCK

Di lain pihak, VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menjelaskan bahwa faktor selisih kurs memang menjadi salah satu penekan kinerja perseroan pada paruh pertama tahun ini. Di luar itu, perseroan juga menghadapi persoalan dari sisi penjualan dan fluktuasi harga minyak global.

“Pertamina terkena triple shock yakni dari sisi demand atau penurunan penjualan yang signifikan, harga minyak mentah yang turun sehingga berdampak pada pendapatan di sektor hulu serta fluktuasi rupiah sehingga terjadi kerugian selisih kurs,” katanya kepada Bisnis, Senin (24/8/2020).

Meski begitu, Fajriyah menuturkan bahwa perseroan tetap optimistis dapat memperbaiki kinerja pada sisa tahun ini. Perseroan mengharapkan perbaikan harga minyak dunia serta konsumsi bahan bakar minyak secara ritel maupun industri akan menjadi pendorong kinerja pada sisa tahun ini.

Selain itu, dari sisi internal perseroan terus melanjutkan upaya perbaikan seperti penghematan biaya hingga 30 persen, mengatur ulang prioritas investasi dan renegosiasi kontrak yang ada. Perseroan, lanjutnya, juga terus melakukan refinancing utang untuk menurunkan biaya bunga.

Sebetulnya, kerugian tidak hanya terjadi pada Pertamina. Sejumlah perusahaan migas raksasa global lainnya juga mencatatkan rapor merah sepanjang periode 6 bulan pertama tahun ini.

RATA-RATA MERUGI

Berdasarkan catatan Bisnis, sepanjang semester I/2020 hanya Saudi Aramco yang masih berhasil mengantongi laba, sedangkan ExxonMobil, BP, Total, dan Shell mencatatkan kerugian.

ExxonMobil mencatatkan kerugian US$1,30 miliar atau Rp18,54 triliun, BP mencatatkan kerugian US$6,70 miliar atau Rp95,57 triliun, Total merugi US$8,40 miliar atau Rp119,82 triliun, sedangkan Shell mencatatkan kerugian paling besar yakni US$18,40 miliar atau setara Rp262,47 triliun.

Seperti dikutip melalui unggahannya di Instagram, Mantan Wakil Menteri ESDM periode 2014—2019 Arcandra Tahar mengatakan bahwa enurunan harga minyak dan melemahnya konsumsi minyak dunia akibat pandemi menjadi dua faktor utama yang menyebabkan perusahaan migas dunia mengalami kerugian terburuk dalam sejarah.

Harga minyak dunia selama kuartal kedua tahun ini yang sempat melemah hingga di bawah US$30 per barel, menjadi beban berat bagi perusahaan migas dengan biaya produksi tinggi.

Di Amerika, di mana sebagian besar sumur minyak adalah lepas pantai (offshore) dan unconventional (shale oil), rerata biaya produksi berkisar di atas US$40 per barel.

Sementara itu, di Arab Saudi dengan rerata biaya produksi berkisar di bawah US$ 20 per barel, dampak penurunan harga minyak masih terkendali.

"Inilah yang membuat Saudi Aramco tetap mencatat laba positif di saat hampir semua kompetitornya merugi," katanya sepertinya dikutip pada akun Instagramnya @arcandra.tahar, Rabu (26/8/2020).

Bagaimana prospek industri migas ke depan? Krisis kesehatan yang telah memicu terjadinya krisis ekonomi di seluruh dunia saat ini tentu menjadi tantangan besar bagi industri migas.

Hampir semua perusahaan migas akan melakukan restrukturisasi dan evaluasi atas rencana bisnis serta investasinya.

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan bahwa penurunan lifting minyak merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan penjualan ekspor migas, yang menyebabkan Pertamina merugi.

Namun, mestinya pendapatan penjualan BBM meningkat pesat. Pasalnya, Pertamina tidak menurunkan harga BBM pada saat harga minyak dunia lagi terpuruk selama 2020.

Dalam kondisi merugi itu, keputusan Pertamina untuk mengakuisisi ladang minyak di luar negeri merupakan keputusan blunder, yang akan memperbesar kerugian Pertamina pada semester II/2020.

Alasannya, investasi tersebut tidak bisa dibiayai dari sumber internal laba ditahan, tapi dibiayai dari sumber eksteral utang, yang akan makin memperbesar biaya bunga sehingga memberatkan kerugian.

Selain tidak ada laba ditahan, setoran deviden dan pajak juga akan mengalami penurunan drastis. Demikian juga dengan partner dan kontraktor yang selama ini bekerja sama dengan Pertamina pasti akan terkena imbasnya.

Dalam kondisi tersebut, Pertamina tidak bisa ikut berperan dalam memberi kontribusi terhadap sumber dana APBN, pembukaan lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi, serta pencegahan ancaman resesi ekonomi Indonesia

"Dalam kondisi merugi, yang menempatkan Pertamina sebagai liabilities [beban], bukan aset bangsa, Menteri BUMN harus memecat Direktur Utama dan Komisaris Utama Pertamina sebagai bentuk pertanggungjawaban yang menyebabkan Pertamina merugi," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhammad Ridwan
Editor : Zufrizal

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper