Bisnis.com, JAKARTA - Minggu terakhir Agustus mungkin menjadi kunci bagi pasar negara berkembang yang berusaha untuk menghapus kerugian tahun ini karena investor khawatir meningkatnya ketegangan Amerika Serikat dan China akan menutupi optimisme pengembangan vaksin.
Saham, mata uang dan obligasi dolar dari negara berkembang jatuh minggu lalu setelah Presiden Donald Trump membatalkan pertemuan pakta perdagangan. Indeks MSCI Inc. menghentikan kenaikan beruntun dalam empat minggu, sementara rubel riil Brasil dan Rusia memimpin kerugian dalam 13 dari 24 mata uang yang dilacak oleh Bloomberg.
Imbal hasil obligasi dolar turun untuk minggu kedua, penurunan back-to-back pertama sejak pandemi diumumkan pada Maret.
Investor mencari konfirmasi revisi waktu pembicaraan Amerika Serikat dan China karena yuan bergerak di sekitar level kunci 6,90 per dolar. Pemerintahan Trump meningkatkan tekanan pada China minggu lalu, menangguhkan perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong dan mengakhiri perlakuan pajak timbal balik atas pengiriman dengan bekas koloni Inggris itu.
Langkah itu dilakukan setelah China memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang menyebabkan dakwaan terhadap lebih dari 20 aktivis pro-demokrasi.
"Hal utama yang akan terus menjadi fokus pasar adalah AS-China. Saat kita semakin dekat dengan pemilihan, kita akan melihat lebih banyak retorika yang keluar dari pemerintah AS dan mungkin juga tanggapan dari otoritas China," kata John Malloy, Wakil Kepala Riset Pasar Perkembang dan Perbatasan di RWC Partners, dilansir Bloomberg, Senin (24/8/2020).
Baca Juga
Menurut ahli strategi Citigroup Global Markets Inc. termasuk Dirk Willer di New York, mata uang dari negara berkembang mungkin tidak menarik arus masuk tanpa berita vaksin yang menjanjikan. Pasar kredit juga akan memperhatikan perkembangan ilmiah untuk melacak kapan ekonomi dapat dibuka kembali tanpa risiko gelombang baru virus Corona.
"Pasar harus terus memperdagangkan berita utama vaksin, dan meskipun vaksin tidak mungkin dihasilkan dalam waktu dekat, proses peninjauan yang dipercepat di beberapa negara [misalnya China dan Rusia] dapat memberikan kejutan kenaikan saat tahun ini berakhir," tulis ahli strategi Citigroup dalam catatan terpisah.