Ismail Raji al-Faruqi, dalam Tauhid: Its Interpretation for Thought and Life, mengatakan hijrah merupakan suatu langkah dalam upaya mengubah dunia dan mengarahkan sejarah ke arah baru. Ini berarti, hijrah merupakan proses reformasi dalam berbagai aspek kehidupan yang lebih baik dari hari kemarin.n
Banyak orang berpendapat bahwa kehidupan keberagamaan kita kini mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Ini ditandai dengan, misalnya, semakin banyaknya jamaah haji, maraknya peringatan hari besar Islam, kian ‘hijaunya’ parlemen, dan sebagainya.
Namun di sisi lain, suara keprihatinan terhadap maraknya korupsi dan suap di semua lini birokrasi, begitu juga tindakan persekusi, premanisme, anarkisme dan radikalisme atas nama agama, juga kian nyaring.
Persoalannya, mengapa peningkatan kesadaran keberagamaan acapkali dibarengi dengan naiknya pelanggaran terhadap ajaran agama? Tidak adakah pengaruh agama pada etika sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, misalnya?
Dalam kehidupan sosial, tingkah laku manusia terkadang terpolarisasi pada dua kutub yang saling kontradiktif. Dari cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, kita bisa belajar bagaimana seorang yang hidup hanya menghabiskan waktunya untuk beribadah secara individual kepada Tuhan, dengan mengorbankan tanggung jawabnya sebagai makhluk sosial.
Sementara itu, dari roman Atheis karya Achdiat Kartamihardja dapat diambil pelajaran, bagaimana seseorang yang lahir ke dunia dengan membawa fitrah keagamaan, setelah menjalani kehidupan nyata menjadi lupa sama sekali dengan tanggung jawab keakhiratan.
Berbeda dengan di masa kakek penjaga surau seperti diceritakan A.A. Navis, di mana ia harus disadarkan akan tanggung jawab duniawinya agar tidak melulu mengurus akhirat, orang sekarang justru sebaliknya. Mereka terkadang harus diingatkan agar dalam pelaksanaan tanggung jawab duniawinya itu tidak lupa akhirat.
Dalam doktrin Islam, ada dalil yang cukup populer: ‘Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup abadi, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati esok pagi’. Ucapan Abdullah Ibnu Umar, yang umumnya disangka hadis Nabi itu, lebih applicable bila dipahami dalam kerangka tawazzun (keseimbangan) antara duniawi dan ukhrawi.
Dengan kata lain, setiap ritual yang bersifat vertikal antara manusia dengan Tuhannya, baik dalam bentuk salat, puasa, haji, dan sebagainya, harus memberi implikasi horisontal bagi kehidupan manusia, yaitu pada dimensi sosialnya.
Ironisnya, yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Sehingga tidak aneh, kalau seseorang yang mempunyai predikat kiai atau ulama, misalnya, yang tidak pernah tinggal salat dan aktif pergi ke masjid, tiba-tiba tertangkap tangan KPK.
Pada tingkat ini, perilaku mereka jelas sudah menyentuh tindakan yang dalam bahasa agama disebut zalim, seberapa pun para pelaku itu menaruh takaran pada terminologi kezaliman itu. Ini bisa berskala pribadi dan bisa diperluas secara sosial.
Teori Keseimbangan
Tampaknya, teori keseimbangan antara amal duniawi dan amal ukhrawi yang diajarkan Islam mempunyai signifikansi yang kuat untuk mengantisipasi kecenderungan terjadinya dekadensi moral dan anomali nilai-nilai pada masyarakat modern, tak terkecuali bangsa Indonesia.
Dalam perspektif ini, ada dua hal yang diajarkan dalam ritualisme Islam. Pertama, menjadikan ritualisme sebagai ethical religion. Yakni, dalam menghadapi arus sekularisasi, modernisasi, dan globalisasi ini, manusia tidak mencampakkan agamanya begitu saja. Namun, agama justru harus selalu dijadikan pegangan, pengendali, dan pengontrol yang memberikan sentuhan nilai moral dan etik dalam aktivitas duniawinya, baik yang berdimensi sosial, politik, hukum, ekonomi, maupun intelektual.
Kedua, menjadikan ritualisme sebagai spiritual religion. Artinya, ketika manusia terjun dalam aktivitas keduniaan dan sibuk dengan segala macam persoalan kerja, kebutuhan rohaninya tidak ditinggalkan. Dengan demikian, manusia akan selalu berjalan dalam orbit eksistensinya sebagai individu yang dibingkai oleh dimensi ketuhanan, dan sekaligus tetap peduli dengan kebutuhan duniawinya serta sosial masyarakatnya.
Marilah kita jadikan Tahun Baru Hijriyah kali ini sebagai momentum untuk melakukan reformasi sikap keberagamaan kita, dari model keberagamaan yang simbolik-seremonial dan eksklusif menuju keberagamaan yang sejati dan inklusif. Selamat Tahun Baru 1442 H