Bisnis.com, JAKARTA — Aparat keamanan Thailand menangkap sejumlah pemimpin aksi unjuk rasa menuntut penerapan demokrasi yang lebih luas, yang sudah berlangsung selama beberapa waktu terakhir.
Setidaknya sembilan orang pemimpin aksi sudah ditangkap sejak Rabu (12/8/2020). Bloomberg melansir Kamis (20/8), di antara yang ditangkap adalah dua penyanyi rap dari dua acara musik anti militer yang digelar terpisah serta Arnon Nampa, pengacara yang pertama kali menuntut kekuasaan monarki di negara itu dibatasi.
Arnon sudah pernah ditangkap pada bulan lalu, tapi kemudian dibebaskan dengan jaminan.
Sementara itu, media lokal Thailand melaporkan belasan aktivis yang ikut serta dalam gerakan anti pemerintah sejak pertengahan Juli 2020, telah mendapat surat peringatan penangkapan. Tuduhan yang disertakan antara lain upaya separatisme, yang diancam hukuman penjara hingga 7 tahun.
"Janji-janji Pemerintah Thailand untuk mendengarkan suara di publik terbukti tidak berarti apapun sejalan dengan berlanjutnya penangkapan terhadap para aktivis pro demokrasi," papar Director Human Rights Watch Asia Brad Adams.
Sementara itu, Ketua Parlemen Asean untuk Hak Asasi Manusia Charles Santiago menilai generasi muda Thailand menginginkan perubahan dan ancaman dari aparat justru akan memperkuat determinasi mereka.
"Para pemimpin Thailand akan menemukan bahwa mendengarkan orang-orang yang ingin membahas masa depan Thailand dengan damai justru memberikan keuntungan besar bagi negara," terangnya.
Thailand memberlakukan hukum yang ketat terhadap potensi kritik terhadap keluarga kerajaan, dikenal sebagai lèse-majesté, yang memberikan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara bagi mereka yang dituduh mengejek raja atau keluarga kerajaan lainnya.
Raja Thailand
Tuntutan demokrasi yang lebih luas mengemuka seiring dengan keputusan Raja Maha Vajiralongkorn untuk lebih banyak tinggal di Jerman, termasuk ketika pandemi Covid-19 menyerang. Sebelum resmi naik tahta menjadi raja pada 2019, dia memang dikenal 'eksentrik'.
Sejumlah 'skandal' yang melingkupinya adalah ketika Vajiralongkorn menyelenggarakan upacara kematian secara Buddhis selama 4 hari untuk anjingnya yang mati pada 2016, diketahui sering mengenakan pakaian minim ketika berada di tempat umum, dan perjalanan asmaranya yang mencakup pernikahan serta perceraian yang sudah berlangsung beberapa kali.
Bloomberg melansir Selasa (11/8), sejak ditetapkan sebagai pewaris tahta Thailand, Vajiralongkorn sudah menolak pencalonan saudara perempuannya sebagai Perdana Menteri (PM) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) tahun lalu, memberikan teguran resmi kepada eks PM Thaksin Sinawatra yang sedang dalam pengasingan, dan mengambil alih komando beberapa unit militer.
Dia juga mengambil alih kepemilikan aset-aset Badan Properti Raja melalui beberapa perubahan legal yang disetujuinya sendiri. Gabungan kepemilikan sahamnya di Siam Commercial Bank Pcl dan Siam Cement Pcl, dua korporasi besar Thailand, saja bernilai sekitar US$6,7 miliar.
Tidak diketahui berapa total nilai aset Vajiralongkorn jika termasuk aset di badan properti dan lembaga lainnya.
Pada Rabu (19/8), PM Thailand Prayuth Chan-Ocha mengatakan dia tak mau para pengunjuk rasa membahas monarki karena kerajaan adalah institusi yang terhormat.
"Ada 67 juta penduduk Thailand dan tidak semua orang mengikuti unjuk rasa. Mayoritas masyarakat di negara ini tidak setuju dengan demonstrasi," ucapnya.
Chan-Ocha naik ke tampuk kepemimpinan melalui kudeta pada 2014. Dia terpilih kembali dalam Pemilu 2019, yang diklaim sebagian pihak penuh kecurangan.
Di sisi lain, Thailand tengah dirundung resesi setelah pandemi Covid-19 memukul ekonomi negara itu, yang mengandalkan pariwisata.