Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Komite Penanganan Covid-19 dan PEN Dinilai Pincang, Kok Bisa?

Konsentrasi yang terlalu besar di bidang pemulihan ekonomi yang tidak paralel dengan upaya melawan Covid-19 berpeluang menjadi sia-sia belaka.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan keterangan saat acara peluncuran progam penjaminan pemerintah kepada padat karya dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional di Jakarta, Rabu (29/7/2020). Bisnis
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan keterangan saat acara peluncuran progam penjaminan pemerintah kepada padat karya dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional di Jakarta, Rabu (29/7/2020). Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dinilai pincang sehingga maksud pembentukan komite untuk mengintegrasikan sektor kesehatan dan ekonomi dalam rangka menghadapi pandemi itu berpotensi gagal.

Hal tersebut seperti dikatakan oleh Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus yang menilai bahwa struktur komite yang dibentuk melalui Perpres No.82/2020 itu terkesan lebih berat pada aspek ekonomi saja dibandingkan faktor kesehatan.

"Dilihat dari struktur komite itu, tidak bisa dihindari kesan bahwa pemerintah memberikan fokus yang terlalu besar dalam bidang ekonomi dan lemah dalam aspek kesehatan," kata Deddy, melalui pernyataan resminya yang dikutip Bisnis, Rabu (5/8/2020).

Politikus PDI Perjuangan tersebut mengingatkan bahwa masalah ekonomi yang dihadapi saat ini adalah dampak dari terjadinya pandemi global.

"Tidak mungkin ekonomi bisa dipulihkan jika penanganan pandemi tidak dilakukan secara maksimal," tegasnya.

Sebaliknya, dia melihat apabila penanganan pandemi dilakukan secara efektif maka program pemulihan ekonomi nasional akan dengan sendirinya berpotensi membaik.

Oleh karena itu, konsentrasi yang terlalu besar di bidang pemulihan ekonomi yang tidak paralel dengan upaya melawan Covid-19 berpeluang menjadi sia-sia belaka.

"Komite yang dibentuk seharusnya menjadi terobosan untuk melakukan akselerasi dalam rangka kebijakan (refocusing) anggaran dan percepatan penyerapan anggaran yang tersandera regulasi dan birokrasi, baik di bidang pemulihan ekonomi maupun menekan pandemi," ujarnya.

Menurutnya komite juga harus menjadi jawaban memudahkan kolaborasi dan integrasi antara kementerian/ lembaga dan pemda yang selama ini masing-masing berjalan sendiri tanpa arah bersama yang jelas.

Selain itu, Deddy menyayangkan komite tersebut tidak mengakomodir sektor lain yang juga sangat seperti bidang pemerintahan dalam negeri, sosial, pangan, pedesaan, UMKM, tenaga kerja, termasuk lembaga lain terkait moneter, BPJS, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lainnya.

Pihaknya pun menilai semangat Perpres No.82/2020 itu berpotensi gagal lagi karena tidak menjawab akar persoalan dan kompleksitas masalah yang ada.

"Komite ini jika tidak disempurnakan hanya akan menjadi panggung politik belaka, menimbulkan ketidakpuasan dan ego sektoral yang lebih dahsyat lagi, berpotensi melahirkan moral hazard," lanjut Deddy.

Oleh karena itu, sudah selayaknya ke dalam komite perlu dilibatkan BPK dan BPKP sebagai Auditor Negara, dan juga lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, Polri, dan KPK dalam penyusunan kebijakan dan pengawasan.

Menurutnya pelibatan lembaga itu akan memastikan pelaksanaan seluruh kebijakan dan program komite benar-benar kredibel, akuntabel, efektif, tepat sasaran dan berdampak positif secara nyata.

"Presiden harus merombak rancang bangun komite. Kalau mau efektif maka komite ini harus dipimpin langsung oleh Presiden dan bukan yang lain karena menyangkut keselamatan negara dan kondisi kedaruratan," tegas Deddy.

Sekretaris Eksekutif 1 Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede sebelumnya menyebutkan bahwa target komite pada tahun ini adalah mencegah resesi ekonomi. 

Sementara itu, lonjakan angka kasus Covid-19 di Tanah Air masih berada di atas 1.000 kasus per hari. Dari data pemerintah per 4 Agustus 2020, angka kasus baru mencapai 115.056 positif dengan tambahan kasus sebanyak 1.922 kasus. Kurva kasus terus menanjak sejak Juni 2020.  Adapun, jumlah kasus terbanyak terjadi di Jawa Timur dan DKI Jakarta. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper