Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD ternyata tidak terlalu kaget dengan penangkapan buronan Djoko Tjandra.
Sejak 20 Juli 2020, Mahfud mengaku sudah tahu bahwa Djoko akan segera ditangkap dan dibawa pulang ke Indonesia.
"Saya tahu, hanya menunggu waktu," kata Mahfud dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (30/7/2020).
Joko merupakan terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Djoko kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya.
Awalnya, pada Senin, 20 Juli 2020, Mahfud bercerita bahwa ia menggelar rapat lintas kementerian. Peserta yang hadir dari Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Luar Negeri. Rapat digelar pukul 17.30 WIB.
Rapat disiapkan untuk mengadakan operasi khusus penangkapan Djoko.
Baca Juga
Saat itu, sejumlah pihak sudah mendesak Presiden Joko Widodo melakukan pendekatan Government to Government (G2G) dengan pemerintah Malaysia. Sebab, Djoko diduga berada di Negeri Jiran.
Tapi, beberapa jam sebelum rapat digelar, pukul 11.30 WIB, tiba-tiba Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo datang menemui Mahfud.
Kepada Mahfud, Sigit mengatakan tak perlu ada pendekatan G2G, cukup Police to Police (P2P).
Sigit meyakinkan Mahfud MD soal ini karena sudah mengetahui posisi Djoko. Operasi pun akan dimulai pada Senin malam. Setelah berdiskusi selama 10 menit, Mahfud setuju dan yakin polisi bisa menangkap Djoko.
Mereka sepakat bahwa informasi operasi ini cukup diketahui Presiden Jokowi, Kapolri, dan Mahfud saja.
"Sehingga, kami bersepakat untuk diam," kata Mahfud.
Itu sebabnya sejak 20 Juli 2020, Mahfud tidak berbicara spesifik soal bagaimana upaya untuk menangkap Djoko.
"Saya hanya katakan yang diperlukan adalah tindakan ke dalam, polisi yang terlibat, jaksa, Kemenkumham yang terlibat untuk ditindak," kata dia.