Bisnis.com, JAKARTA – Perseteruan antara Amerika Serikat dan China belakangan ini tak bisa dilepaskan dari figur Donald Trump dan Xi Jinping, pemimpin dua negara dengan perekonimian terbesar di dunia.
Keduanya bukanlah pemimpin muda, Trump berusia 74 tahun, sedangkan Xi Jinping 67 tahun. Trump lebih tua sekitar 7 tahun dari Xi.
Jika dipersonifikasi ke dalam usia kedua pemimpin negara kuat itu, perseteruan AS dan China tak ubahnya perseteruan antara seorang kakek dengan orang yang lebih muda.
Sang kakek selama ini, berdasarkan berbagai pemberitaan, tercitrakan sebagai kakek pemarah yang tidak mau kalah. Sifat itu tercitrakan pada sosok Donald Trump.
Sementara, orang yang lebih muda, meski pun jarang terlihat meletup-letup, memiliki ambisi yang kuat untuk menggenggam dunia. Ambisi itu bisa dilihat mulai dari memperlebar jangkauan diplomasi jalur sutra hingga peningkatan kemampuan SDM China, termasuk dalam bidang teknologi canggih.
Sebagai seorang yang punya ambisi besar, Xi Jinping bisa dicitrakan sebagai orang yang lebih muda dari Trump yang tidak mudah menyerah apalagi mengalah.
Baca Juga
Jadi, klop sudah, jika belakangan perseteruan AS dan China seperti drama sinetron yang menyambung berjilid-jilid.
Di saat drama perang dagang masih menggantung, muncul drama Xinjiang, Corona, penutupan konjen China di Houston, hingga pengharaman penggunaan TikTok di kalangan pegawai pemerintah federal AS.
Trump memiliki kepentingan untuk terus ngotot, apalagi kini dia sedang menghadapi Pemilu di negerinya. Dengan selisih sekitar 10 persen dukungan, berdasar survei, Trump harus mencari berbagai cara agar tetap punya agenda yang mengikat sentimen warga Amerika.
Keberhasilan Trump mengalahkan Hillary Clinton, pada Pemilu AS, sebelumnya menunjukkan kepiawaian Trump dan timnya menggalang sentimen Amerika.
Pendek kata, di dalam negeri boleh saja citra Trump terpukul penanganan Corona dll, tapi jika sentimen keamerikaan bisa dinyalakan, Trump masih berpeluang kembali memimpin Negeri Paman Sam. Apalagi, jika kemudian perekonomian AS bangkit dan para petani di sana kembali sejahtera.
Sementara itu, Xi Jinping juga tak tinggal diam. Tak mendapat gangguan di dalam negeri, Xi memperluas pengaruhnya ke luar negeri. Diplomasi ekonomi belt and road adalah salah satunya.
Inisiatif Belt and Road yang sebelumnya dikenal sebagai One Belt One Road tak pelak merupakan strategi pengembangan pengaruh China. Hal yang pada akhirnya bertubrukan dengan kepentingan AS menjaga pengaruhnya di dunia.
Politik jalur sutra kontemporer itu membuat pemerintah China pada 2013 menggagas rencana investasi di hampir 70 negara dan organisasi internasional. Siapa yang menjadi master mind dari operasi global China ini? Jawabannya adalah Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok alias Xi Jinping.
Pengaruh China pun lantas menggurita hampir di semua benua, mulai dari Asia, Afrika, Eropa, Timur Tengah, bahkan benua Amerika.
Secara resmi China menyebut inisiatif mereka sebagai "upaya untuk meningkatkan konektivitas regional dan merangkul masa depan yang lebih cerah".
Tapi, pengamat melihat ada rencana besar China mendominasi dunia melalui jaringan perdagangan global yang berpusat di Tiongkok.
Proyek ini memiliki target tanggal penyelesaian 2049, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Republik Rakyat Tiongkok. Paling tidak demikian yang tertulis di Wikipedia.
Siapa yang paling tersengat dengan politik ekspansif China melalui jalur ekonomi tersebut? Jelas Amerika Serikat. Di bawah kepemimpinan Donald Trump yang blak-blakan, konflik kedua negara akhirnya menjadi perseteruan terbuka.
Sang Kakek yang pemarah tak pernah ragu untuk mengungkapkan amarahnya. Sementara, si anak muda yang ambisius pun tak pernah menyurutkan langkahnya.
Kini, negara-negara lain sedang berhitung, langkah paling aman apa yang bisa mereka siapkan agar tidak menyinggung dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia yang sedang bersitegang tersebut.
Perintah penutupan Konsulat Jenderal China di Houston, rencana balasan yang mungkin berupa penutupan aset diplomatik AS di China, pelarangan penggunaan TikTok di AS, dan berbagai hal yang mungkin terjadi ke depan, menjadi serpihan studi kasus yang sedang dikaji berbagai negara tersebut.
(Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis)