Bisnis.com, JAKARTA - Isu reshuffle kabinet menjadi bahasan dalam webinar Solusi Untuk Negeri dengan tema Reshuffle: Siapa Layak Diganti dan Menggantikan, Sabtu (4/7/2020).
Di antara sejumlah poin yang dibahas, nama menteri yang layak diganti dan siapa yang pantas masuk dalam kabinet menjadi pertanyaan yang disampaikan moderator kepada pembicara.
Salah satu pertanyaan yang muncul adalah soal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
Pangeran Siahaan, salah satu pembicara dalam webinar tersebut, menyebutkan Nadiem Makarim memiliki tiga modal selama ini.
Pertama, Nadiem adalah menteri dengan latar belakang profesional. Kedua, Nadiem memiliki portofolio yang bagus sebagai pengusaha, bahkan simbol startup Indonesia, juga simbol milenial.
"Tiga modal itu dimiliki Nadiem, yang jadi pertanyaan kok jadi Mendikbud?" ujar Pange.
Baca Juga
Meski sejauh ini belum bisa menilai kinerja Nadiem dari aspek keahliannya, Pange menilai Nadiem masih bisa diberi kesempatan untuk meneruskan jabatannya sebagai Mendikbud, bukan digeser ke jabatan di kementerian lain.
"Beberapa tantangan butuh orang yang menguasai teknologi, bisa melakukan adaptasi dengan cepat, harusnya Nadiem bisa membuat gebrakan di situ," ujar Pange.
Pange berharap Nadiem tetap menjadi Mendikbud, tinggal Presiden memberikatan indikator kinerja yang lebih jelas lagi. Misalnya, dalam enam bulan seperti apa, dan bagaimana selama work from home bisa efektif.
Di luar soal Nadiem, Pange mengatakan dalam situasi pandemi saat ini sulit bagi siapa pun untuk bisa bekerja secara ideal.
Terkait munculnya nama-nama yang disebut-sebut perlu diganti, Pangeran menyebutkan hal itu tidak terlepas dari ekspose terhadap menteri bersangkutan selama ini.
"Menteri yang sering muncul di media akan mudah dihakimi publik," ujar Pange, sapaan untuk Pangeran Siahaan.
Pange menyebutkan, paling tidak hanya 10 sampai 15 menteri yang sering muncul dalam pemberitaan. Sementara, setengah dari anggota kabinet tidak muncul dalam pemberitaan. Bisa jadi masyarakat lupa bahwa nama-nama yang tidak muncul itu adalah menteri.
"Menteri-menteri yang tidak dikenal, tidak ada sentimen, karena tidak ada interaksi," ujar Pange menjelaskan bagaimana kacamata publik menilai menteri di kabinet.
Pange menyebutkan bahwa yang paling sering disebut di media massa adalah Nadiem Makarim. Dari awal, kehadiran Nadiem di kabinet sudah menjadi bahan perdebatan.
"Dengan sendirinya kalau high profile langsung menjadi sasaran tembak. Ekspose besar, tembakan akan makin besar," ujarnya.
Terkait pengganti menteri, jika reshuffle jadi dilakukan Jokowi, Pange menilai mereka akan berasal dari parpol yang sama dengan menteri yang akan digantikan.
Hal itu, menurut Pange, dimaksudkan untuk tetap menjaga jatah atau kekuatan politik agar tidak berubah.
Analisis Pange tersebut didasarkan pada dua kalil reshuffle yang dilakukan Jokowi pada kabinet sebelumnya.
Sebelumnya, Rocky Gerung yang juga menjadi pembicara dalam webinar tersebut menyatakan bahwa meski Presiden memiliki hak untuk melakukan reshuffle, penentunya adalah sekelompok kekuatan politik yang berada di belakang presiden.
"Politik kita ada variabel yang enggak mungkin dibaca surveyor, komparatif politik enggak mungkin bisa membacanya," ujar Rocky.
Secara normatif, yang memutuskan reshuffle memang presiden. "Tapi siapa yang menentukan keputusan tersebut? Di belakang presiden ada oligarki yang harus tetap terjaga, bahkan saat [Presiden Jokowi] mundur [pada] 2024," ujar Rocky.
Rocky menyebutkan, bahkan setelah tidak menjadi Presiden RI, Jokowi tetap punya beban agar setelah 12 jam lengser dia tidak dipermasalahkan.
Reshuffle, ujar Rocky, tidak bisa lepas dari jaminan bahwa oligarki politik yang ada tidak keberatan.
"Kepentingan politik ditetukan oleh oligarki yang tersembunyi," ujar Rocky.
Yunarto Wijaya, pembicara lain dalam webinar tersebut, sepakat bahwa oligarki menjadi masalah dan akan menjadi lebih bermasalah lagi ketika dalam menyeleksi menteri, Presiden rancu dalam memilih kabinet yang generalis atau spesialis.
Masalah menjadi lebih besar lagi jika presiden memberi cek kosong kepada partai politik.
Bagi-bagi kursi kepada partai, menurut Yunarto, bisa dibatasi selain secara kuantitatif juga dengan melakukan filter bahwa anggota kabinet harus teknokratis. Jadi, ketika ada nama yang diajukan parpol tapi ternyata tidak layak, presiden bisa menolaknya.
"Sehingga politik dagang sapi tidak buruk buruk amat," kata Yunarto.
Terkait momen reshuffle, Pangeran Siahaan mengatakan tidak ada waktu yang tepat atau tidak tepat. Hal itu, ujar Pange, merupakan hak prerogatif presiden.