Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU HIP: Kontroversi, Respons Ormas Islam dan Purnawirawan

Inisiatif DPR untuk mengajukan RUU Haluan Ideologi Pancasila mendapat penolakan dari kalangan ormas Islam. Di sisi lain, kalangan purnawirawan pun sampai melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo saat menerima Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno. Presiden menerima para purnawirawan TNI-Polri dan legiun veteran Indonesia di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (19/6/2020)./Facebook-@Jokowi
Presiden Joko Widodo saat menerima Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno. Presiden menerima para purnawirawan TNI-Polri dan legiun veteran Indonesia di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (19/6/2020)./Facebook-@Jokowi

Bisnis.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila bergulir menjadi kontroversi. Penolakan muncul di masyarakat. Ormas Islam dan purnawirawan menjadi pihak yang paling jelas penolakannya. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Muhammadiyah, NU, MUI, dan berbagai ormas telah dengan tegas menyatakan menolak RUU HIP untuk dilanjutkan pembahasannya oleh DPR RI.

Di DPR pun tidak semua politisi Senayan menyetujui pembahasan RUU HIP tersebut.

Dari pihak pemerintah, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan RUU HIP memiliki masalah substansial dan prosedural. Itu sebabnya pemerintah belum akan membahas RUU tersebut.

"Masalah substansial RUU HIP menyangkut dua hal pokok, pertama masalah keberlakuan Tap MPRS Nomor XXV tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme itu sudah diselesaikan," kata Mahfud di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Selasa (23/6/2020) seperti ditulis Antara.

Pada 16 Juni 2020, Mahfud mengatakan pemerintah tidak mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR sebagai tanda persetujuan pembahasan legislasi terhadap RUU HIP.

Seperti diketahui, DPR adalah pihak yang mengajukan RUU HIP tersebut.

"Artinya sudah semua 'stakeholders' sependapat bahwa Tap MPRS Nomor XXV tahun 1996 itu masih berlaku. Masalah substansial kedua adalah masalah isi Pancasila dalam sejarah pernah digagas pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila oleh Bung Karno dan mau dinormakan, itu sudah diselesaikan secara substansial baik pemerintah maupun pengusul sudah sepakat itu tidak bisa masuk ke undang-undangnya," jelas Mahfud.

Selain dua masalah substansi pokok, Mahfud juga mengatakan ada masalah substansi sambilan.

"Dianggap RUU HIP mau menafsirkan Pancasila dan mau memposisikan Pancasila kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara padahal (Pancasila) itu sudah final," tegas Mahfud.

Selanjutnya masalah prosedural terkait dengan pihak pengusul RUU HIP.

"RUU HIP itu adalah usulan dari DPR sehingga keliru kalau ada orang yang mengatakan kok pemerintah tidak mencabut? Ya tidak bisa dong kita mencabut sebuah usulan UU, (RUU) itu kan DPR yang mengusulkan, kita kembalikan ke sana masuk ke proses legislasi di lembaga legislatif, tolong dibahas ulang," tambah Mahfud.

Mahfud pun menyerahkan kepada DPR soal proses politik selanjutnya RUU HIP tersebut.

RUU HIP ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas tahun 2020.

RUU HIP muncul karena saat ini belum ada UU sebagai sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di dalam naskah akademik RUU tersebut dijelaskan kalau RUU HIP dibuat sebagai pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.

Namun RUU HIP memicu penolakan banyak pihak, mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), PP Muhammadiyah, akademisi hingga para purnawirawan.

Alasan yang dikemukakan diantaranya terkait pasal tentang ciri pokok Pancasila adalah Trisila yang terkristalisasi dalam Ekasila. Hal ini dinilai dapat menciptakan bias Pancasila. RUU tersebut juga dinilai tidak mendesak.

Langsung jadi Polemik

Kurang lebih satu bulan sejak ditetapkan sebagai inisiatif DPR RI, RUU HIP menjadi polemik.

Sejak ditetapkan sebagai salah satu RUU inisiatif DPR RI melalui sidang paripurna 12 Mei 2020 dan masuk dalam Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2020, pembahasan RUU HIP bergulir di tengah upaya melawan pandemi Covid-19.

Naskah akademik dan draf RUU HIP disusun oleh Badan Legislasi DPR RI. Draf itu memuat sejumlah pasal yang dinilai beberapa kalangan cukup kontroversial, di antaranya:

Pasal 7 tentang tiga ciri pokok Pancasila yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

Trisila tersebut juga terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong.

Pasal tersebut dikritik lantaran dianggap merujuk pada Pancasila 1 Juni 1945, atau Pancasila yang pertama disampaikan Bung Karno dalam pidatonya di hadapan peserta sidang umum Dokuritsu Junbi Cosha-kai, atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Faktanya Pancasila versi pertama itu sedikitnya sudah dua kali mengalami perubahan, mulai dari Piagam Jakarta, hingga disepakati menjadi Pancasila versi 18 Agustus 1945 dengan lima sila yang kita kenal hingga saat ini.

RUU HIP juga dipersoalkan karena abai terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor 25 Tahun 1966 yang isinya menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai organisasi terlarang dan larangan menyebarkan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.

BPIP

RUU HIP dilandasi semangat untuk membumikan ideologi Pancasila dalam segala lini kehidupan. RUU HIP diharapkan menjadi landasan hukum yang lebih kuat dalam penerapan ideologi Pancasila.

Namun, sejumlah pasal RUU HIP dipandang kontroversial. Dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di tanah air yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menolak isi draf RUU tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyampaikan penolakannya.

Ketiga organisasi tersebut, tidak ingin RUU HIP hanya ditunda pembahasannya. Mereka menghendaki RUU itu dicabut karena menimbulkan polemik di masyarakat.

Ketua Dewan Pakar Alumni Persatuan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Theo L Sambuaga berpandangan alangkah baiknya RUU HIP cukup mengatur tentang penguatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Saat ini keberadaan BPIP masih diatur oleh Peraturan Presiden.

Dengan memperkuat BPIP dalam peraturan undang-undang, semangat penguatan ideologi Pancasila juga bisa dilaksanakan.

Jika perlu RUU HIP juga mengatur panduan bagi BPIP dalam menyosialisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.

Selama ini BPIP memang telah melakukan peran dan tugasnya menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila.

Purnawirawan TNI-Polri

Selain ormas Islam, kalangan purnawiran TNI-Polri pun mengekspresikan sikapnya atas RUU HIP.

Purnawirawan TNI-Polri dan legiun veteran Indonesia pun sampai datang ke Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat 19 Juni 2020. Mereka bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo khusus membicarakan soal RUU tersebut.

Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi diberitakan menekankan bahwa Pancasila merupakan ideologi yang sudah final.

Presiden bersama para purnawirawan dan legiun veteran bersepakat bahwa Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 berlaku mutlak karena sudah ditetapkan dalam Tap MPR Nomor 1 Tahun 2003.

Seluruhnya juga satu pendapat bahwa Pancasila yang disepakati adalah Pancasila yang ada di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 dengan lima pasal yang kita kenal hingga saat ini.

Presiden juga menyampaikan Pemerintah tidak ikut campur dalam menyusun draf RUU HIP.

Artinya Presiden mencermati sejumlah pasal yang dinilai publik kontroversial, dan publik dapat membaca arah sikap Presiden atas draf yang ada.

Presiden pun meminta pembahasaan RUU HIP ditunda dengan harapan DPR RI selaku inisiator RUU HIP dapat menyerap lebih banyak lagi aspirasi publik.

Lantas bagaimana sikap DPR?

Jika merujuk pada pernyataan politisi PDI Perjuangan Aria Bima, seluruh fraksi partai politik di DPR dalam rapat di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah setuju untuk membawa RUU HIP ke tingkat Rapat Paripurna DPR RI tanpa memberikan catatan.

Menurut Aria Bima, ada mekanisme yang telah diatur apabila ingin menganulir atau membahas ulang RUU HIP yang telah disepakati sebagai inisiatif DPR RI itu.

Aria Bima mengatakan pematangan RUU HIP bisa dilakukan dengan mengundang pihak-pihak yang menyatakan keberatan dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Kerja RUU HIP yang telah dibentuk di Baleg DPR atau dengan membentuk Panitia Khusus.

Jadi, akankah RUU HIP ditunda pembahasannya atau akan dibatalkan? Kita tunggu saja. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Saeno
Editor : Saeno
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper