Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral Inggris, Bank of England (BOE) diperkirakan akan mengadopsi kebijakan pengendalian tingkat imbal hasil (yield-curve control) yang dilakukan oleh Jepang guna mendukung perekonomian yang dihantam oleh pandemi virus corona.
Dilansir dari Bloomberg pada Selasa (16/6/2020) meskipun BOE diperkirakan akan tetap melanjutkan quantitative easing, para ekonom juga berspekulasi bank sentral Inggris akan meniru kebijakan yield-curve control yang dilakukan oleh Bank of Japan dalam beberapa bulan ke depan.
Tujuan pemberlakuan kebijakan ini adalah untuk menekan kenaikan biaya pinjaman. Penurunan angka pinjaman akan amat membantu pemerintah dalam mengucurkan paket stimulus untuk memulihkan pertumbuhan perekonomian dengan biaya yang rendah.
Dorongan untuk lebih banyak paket stimulus juga kian besar seiring dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi Inggris sebesar 20,4 persen pada April lalu. Penurunan ekonomi selama dua bulan belakangan juga sekaligus menghapus pertumbuhan ekonomi yang dinikmati Inggris selama hampir 18 tahun.
U.K. rates strategist di Banco Santander SA Adam Dent mengatakan, kebijakan yield-curve control dinilai lebih mungkin terjadi dibandingkan BOE menurunkan tingkat suku bunga di level negatif. Menurutnya, kebijakan ini lebih masuk akal dan efisien dalam upaya pemulihan ekonomi Inggris.
“BOE dibawah kepemimpinan Gubernur Andrew Bailey mungkin akan lebih terbuka dengan kebijakan-kebijakan yang lebih radikal dibandingkan pemimpin sebelumnya,” kata Dent.
Baca Juga
Langkah pemangkasan suku bunga hingga level negatif dinilai akan berdampak pada profitabilitas bank di negara tersebut. Selain itu, negara-negara yang mengimplementasikan kebijakan ini juga belum ada yang dapat mengembalikan tingkat suku bunga di level 0 persen.
Selain itu, yield-curve control juga dinilai lebih efektif dari sisi biaya dibandingkan pembelian obligasi yang terus dilakukan oleh BOE. Hingga kini, total pembelian obligasi yang dilakukan oleh BOE telah menyentuh 645 miliar pound sterling atau US$810 miliar.
Adapun yield-curve control juga telah didiskusikan oleh sejumlah lembaga dengan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson. Laporan The Policy Exhange menyatakan, kebijakan ini sebaiknya diterapkan pada obligasi dengan tenor 10 tahun guna menurunkan biaya utang.
Laporan itu juga menyebutkan, utang-utang Inggris memiliki waktu jatuh tempo yang lebih panjang dibanding negara-negara lain dengan rata-rata 15 tahun.
Sementara itu, tingkat imbal hasil obligasi seri benchmark Inggris dengan tenor 10 tahun berada di angka 0,2 persen, mendekati level terendah sepanjang sejarah. Sedangkan, imbal hasil obligasi tenor 2 tahun telah berada di bawah 0 persen.
Sementara itu, Head of U.K. Rates strategy di HSBC Holdings Plc, Daniela Russell memperkirakan kebijakan ini akan diterapkan pada obligasi Inggris dengan tenor 5 tahun. Ia mengatakan, hal tersebut karena kebanyakan perusahaan saat ini memang melakukan pinjaman dalam jangka pendek.
“Pemerintah Inggris dapat mendukung kebijakan ini dengan memberikan arahan pada pasar modal,” ujarnya.
Bank of America Merrill Lynch memperkirakan jumlah utang Inggris akan melebihi 1 triliun Poundsterling atau setara dengan 50 persen dari output ekonomi Inggris. Jumlah ini akan tercapai pada awal tahun depan bila Inggris terus melakukan pembelian obligasi dalam kebijakan quantitaive easing.