Bisnis.com, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Inggris terkontraksi hingga 20,4 persen pada bulan April karena bisnis dan pekerja terdampak pembatasan untuk mengendalikan pandemi virus Corona.
Kontraksi tersebut merupakan rekor terdalam dan anjlok dari penurunan 5,8 persen pada bulan Maret. Dengan penurunan tajam ini, tekanan meningkat terhadap pemerintah untuk terus melanjutkan rencana pelonggaran pembatasan pada industri yang tengah berjuang untuk bertahan dari resesi.
Data suram ini kemungkinan menandai nadir kerusakan yang disebabkan oleh virus ketika lebih banyak sektor perekonomian memulai kembali aktivitas.
Namun, kembali pulihnya aktivitas tersebut datang pada saat yang sulit untuk Perdana Menteri Boris Johnson, yang tengah menghadapi kritik oleh para politisi dan penasihat ilmiah yang secara terbuka menyalahkan pemerintahannya karena melakukan serangkaian kesalahan besar sejak awal wabah.
Selain mencatat jumlah kematian tertinggi di Eropa, dampak ekonomi terhadap Inggris juga sangat besar. OECD memperkirakan Inggris akan mencatat resesi terdalam di antara negara maju lainnya pada tahun 2020, dengan output merosot lebih dari 11 persen tahun ini, terbesar selama lebih dari 300 tahun terakhir.
Pengangguran secara luas diperkirakan akan mencapai level tertinggi sejak tahun 1990-an, dengan lebih dari 7.500 PHK diumumkan pada hari Kamis, meskipun pemerintah telah memberikan stimulus berupa pemotongan pajak perusahaan.
Baca Juga
Pada bulan April, anjloknya pertumbuhan ekonomi salah satunya disebabkan oleh industri jasa dominan yang anjlok 19 persen. Sementara itu, sektor seperti transportasi udara, agen perjalanan, dan restoran kehilangan sekitar 90 persen dari output normal. Manufaktur turun 24,3 persen, sementara konstruksi anjlok 40,1 persen.
"Hampir semua bidang ekonomi terpukul, dengan pusat hiburan, pendidikan, kesehatan, dan penjualan mobil memberikan kontribusi terbesar pada kejatuhan bersejarah ini," kata Wakil Statistik Nasional di Economic Statistics Jonathan Athow, seperti dikutip Bloomberg.