Bisnis.com, JAKARTA— Bank sentral Korea Selatan memangkas suku bunga dengan bobot 25 basis poin menjadi 0,5 persen untuk menyelamatkan ekonominya akibat pandemi virus corona.
Dikutip dari Bloomberg, Kamis (28/5/2020), pemangkasan suku bunga ditempuh untuk menyelamatkan ekonomi Korea Selatan karena proyeksi kontraksi ekonomi tahun ini. Adapun, akibat pandemi virus corona, Korea Selatan diproyeksi harus merasakan kontraksi ekonomi yang pertama kalinya sejak krisis finansial asia tahun 1998.
Langkah bank sentral Korea Selatan memangkas suku bunga sesuai prediksi 18 dari 23 analis yang disurvei oleh Bloomberg.
Bank sentral Korea Selatan memprakirakan bahwa tahun ini, Korea Selatan mengalami kontraksi ekonomi sebesar 0,2 persen. Inflasi juga diprediksi bakal melambat di level 0,3 persen. Sebagai imbas pemangkasan suku bunga, obligasi denominasi won menguat sedangkan mata uang Korea Selatan justru melemah di hadapan dolar AS.
Kendati Korea Selatan disebut sebagai negara yang mampu mengendalikan penyebaran virus corona, kinerja ekspor merosot karena pasar luar negeri masih berjuang membuka kembali ekonominya setelah menerapkan karantina wilayah. Di sisi lain, jumlah pekerjaan yang hilang terus bertambah kala inflasi melambat.
Strategist Fixed Income Shinyoung Securities, Cho Yong-go mengatakan peluang pemangkasan lanjutan terbuka. Namun, dia menyebut fokus akan tertuju pada sinyal pembelian obligasi yang menunjukkan pelonggaran moneter.
“Bank sentral Korea Selatan mungkin akan menahan [suku bunga] pada 0,5 persen namun memungkinkan bagi pasar untuk berharap pemangkasan lanjutan tahun ini,” katanya.
Langkah pemangkasan suku bunga kali ini merupakan yang kedua kalinya sejak pandemi virus corona terjadi. Sebelumnya, pemangkasan suku bunga dilakukan pada Maret dengan bobot 50 basis poin.
Terlepas dari upaya negara tersebut keluar dari jeratan pandemi, kasus baru kembali bermunculan. Sejumlah ekonom pun memproyeksikan kontraksi ekonomi tahun ini menyentuh 0,5 persen.
Meskipun ruang kebijakan konvensional semakin sempit, kalangan analis berharap penambahan pembelian obligasi karena pemerintah membutuhkan likuiditas untuk mendanai stimulus fiskal.