Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Australia-China Tegang, Wine Bisa Jadi Target 'Hukuman' Berikutnya

Australia, yang ekonominya bergantung pada China, telah membangkitkan kemarahan Beijing setelah menyerukan penyelidikan tentang asal-usul pandemi virus corona (Covid-19).
Ilustrasi/Chasingthevine
Ilustrasi/Chasingthevine

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah China disebut-sebut sedang mempertimbangkan 'hukuman' untuk lebih banyak produk ekspor Australia termasuk wine dan produk susu.

Menurut sumber terkait yang identitasnya dirahasiakan, pejabat pemerintah China telah menyusun daftar barang potensial - juga mencakup makanan laut, oatmeal, dan buah - yang dapat dikenakan pemeriksaan lebih ketat, penyelidikan anti-dumping, tarif, ataupun keterlambatan di bea cukai.

“Selain itu, media pemerintah bisa mendorong boikot konsumen. Meski demikian, belum ada keputusan final tentang langkah-langkah tersebut,” ungkap mereka, dilansir dari Bloomberg, Rabu (20/5/2020).

Australia, yang ekonominya bergantung pada China, telah membangkitkan kemarahan Beijing setelah menyerukan penyelidikan tentang asal-usul pandemi virus corona (Covid-19).

Pemerintahan Presiden Xi Jinping dikenal sensitif atas segala kritik soal penanganan Covid-19 dan memiliki rekam jejak menggunakan perdagangan sebagai gada diplomatik.

China telah melarang impor daging dari empat rumah jagal Australia karena alasan "teknis", dan mengenakan tarif lebih dari 80 persen pada gandum asal Australia pada Senin (18/5/2020).

“Setiap langkah tambahan akan tergantung pada bagaimana Australia menangani keberatan dari China. Beijing tidak bermaksud untuk secara terbuka mengakui kaitan antara aksi perdagangannya dan seruan penyelidikan virus Corona,” lanjut sumber yang sama.

Ketika disinggung tentang daftar itu, Kementerian Luar Negeri China hanya mengatakan bahwa pemerintah "selalu berusaha mencari titik temu sembari mengesampingkan perbedaan, bekerja sama untuk mencapai win-win result, dan tidak akan merugikan pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri”.

“Kami berharap pihak Australia dan China dapat bertemu di titik tengah, mengambil lebih banyak langkah untuk meningkatkan hubungan bilateral dan memperdalam rasa saling percaya, serta memberikan kondisi dan suasana yang menguntungkan untuk kerja sama praktis di berbagai bidang," papar pihak kementerian.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Australia Simon Birmingham mengatakan pemerintahannya akan terus bekerja sama dengan China untuk menjunjung tinggi komitmen yang dibuat berdasarkan perjanjian perdagangan bebas mereka.

“Itu adalah klaim tak bernama yang tak perlu direspons otoritas China. Australia mencatat pernyataan baru-baru ini dari juru bicara China yang menekankan manfaat timbal balik yang mengalir dari hubungan perdagangan kami,” ujar Birmingham dalam suatu pernyataan pada Rabu (20/5).

“Kami berbagi sentimen-sentimen itu dan akan terus bekerja sama dengan China untuk menegakkan komitmen yang kami berdua buat di bawah perjanjian perdagangan bebas antar negara,” tambahnya.

China adalah mitra dagang terpenting Australia, dengan nilai ekspor pertanian saja berjumlah sekitar A$16 miliar (US$10 miliar) pada 2018-2019.

Ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut merupakan tujuan luar negeri terbesar Australia untuk wine dan produk susu, dengan nilai ekspor masing-masing yang meningkat menjadi US$754 juta dan US$564 juta.

Meski barang-barang seperti bijih besi, batu bara, dan gas alam yang dibutuhkan China untuk membangun dan mendorong ekonominya sejauh ini belum terancam, sektor pendidikan dan pariwisata Negeri Kanguru bisa rentan terhadap pembalasan.

Bulan lalu, Duta Besar Beijing untuk Australia mengusulkan agar para wisatawan dan siswa China dapat memutuskan untuk memboikot negara itu.

“Dampaknya akan sangat terasa mengingat kita sedang dalam resesi global dan permintaan China tidak hanya sangat besar tetapi sumber utama kekuatan relatif dalam ekonomi global,” ujar Roland Rajah, seorang ekonom di Lowy.

“Setiap pergeseran fokus ke ekspor pertambangan Australia dapat menandakan peningkatan ketegangan yang nyata,” kata Rajah, yang sebelumnya bekerja di Asian Development Bank dan Reserve Bank of Australia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper