Bisnis.com, JAKARTA - Badan Reserse Kriminal Polri telah menggelar kasus perbudakan dan eksploitasi terhadap anak buah kapal atau ABK Indonesia di Kapal China Long Xing 629.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Ferdy Sambo menuturkan, dari hasil gelar perkara, pihaknya menemukan tiga alat bukti terjadinya peristiwa pidana tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"Penyidik akan melaksanakan proses penyidikan untuk menemukan siapa tersangka yang melakukan perdagangan orang," ujar Ferdy saat dihubungi pada Rabu (13/5/2020).
Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Komisaris Besar John W Hutagalung menuturkan, Satuan Tugas TPPO akan melanjutkan pemeriksaan terhadap 10 ABK.
"Kami akan berkoordinasi dengan jaksa mengenai penerbitan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan)," kata John.
Untuk kasus perdagangan orang ini, Kepolisian RI sebelumnya telah memeriksa pihak Imigrasi Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan Imigrasi Pemalang, Jawa Tengah.
Baca Juga
Kemudian, juga memeriksa Direktur Operasional PT Alfira Perdana Jaya, sebagai agen penyalur ABK, serta 14 ABK yang telah pulang ke Indonesia.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyetujui dua opsi terkait dengan isu anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal asing.
Opsi pertama dari Duta Besar Indonesia di Selandia Baru untuk melakukan moratorium ABK Indonesia di kapal perikanan asing. Opsi kedua, memberikan masukan teknis untuk perizinan ABK yang akan bekerja di kapal asing.
Kedua opsi ini kata Edhy diajukan ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves). "Dua ini terserah mana yang akan disetujui. Jadi intinya adalah, ini (ABK) masalah kompleks," ujar Edhy saat menggelar rapat online, Rabu (13/5/2020).
Jika opsi moratorium yang diambil, Edhy menyebut KKP siap memberikan akses lapangan kerja agar para ABK Indonesia bekerja di kapal perikanan lokal. Bahkan, pihaknya telah menyiapkan kemudahan perizinan bagi para pemilik kapal perikanan agar mereka bisa menyediakan lapangan kerja.
"Hitungan saya kita masih butuh ABK, kalau satu kapal butuh 30 ABK, 1.000 kapal butuh 30.000 (ABK)," sambungnya.
Persoalan ABK, menurutnya, harus dibenahi dari hulu. Caranya, dengan membangun komunikasi dengan Kementerian Tenaga Kerja serta Kementerian Perhubungan untuk menyamakan persepsi. Terlebih dua lembaga tersebut memiliki wewenang berdasarkan undang-undang untuk memberikan izin bekerja kepada para ABK.
"Dari sisi aturan, memang kalau kita lihat KKP sendiri tidak punya wewenang untuk memberikan izin," sebutnya.