Good Governance
Agaknya faktor persyaratan yang longgar inilah yang membuat mereka berpotensi membuat penyimpangan administrasi pemerintahan, kalau tidak mau disebut penyalahgunaan jabatan.
Semua itu jelas jauh dari asas pemerintahan yang baik alias good governance yang didengungkan setiap pemerintahan sejak Era Reformasi.
Begitu juga dengan pemerintahan Pesiden Jokowi yang mengusung tema kampanye “revolusi mental” yang tidak terlepas dari mental para pejabat di birokrasi itu sendiri.
“Kita prihatin, jabatan setara eselon I itu terkesan hanya untuk coba-coba. Sementara mereka yg bekerja di dunia PNS “berdarah-darah” untuk mendapatkan posisi setinggi itu lewat sekolah dan latihan,” ujar mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan sebagaimana dikutip dari akun Facebook miliknya, Minggu (26/4/2020).
Profesor di bidang ilmu pemerintahan itu mengakui para pejabat pemerintah harus bekerja keras puluhan tahun untuk mendapatkan posisi di lingkran Istana tersebut. Itupun sedikit yang bisa sampai ke sana.
“Mereka tidak boleh pula rangkap jabatan. Sekjen, Dirjen atau Irjen sekalipun harus melepas jabatan strukturalnya bila mau jadi pejabat fungsional seperti yang dinikmati mereka,” ujarnya.
Karena itu, ke depan dia mengusulkan perlunya Undang-undang Kepresidenan yang mengatur lengkap the "presidential power".
“Produk legislasi itu nantinya menjadi elaborasi dari pasal 10 UUD 1945 dan mengatur relasi power presiden secara internal dengan menteri/kepala lembaga, dan dengan kepala daerah. UU Kementerian Negara sebaiknya disatukan ke dalamnya,” kataya.
Dari berbagai pendapat kalangan tersebut di atas, jelas bahwa pemerintahan bukan tempat untuk ladang pengabdian coba-coba. Apalagi sangat tidak elok kalau dalam kurun waktu tidak sampai satu semester, jabatan terhormat itu ditinggal begitu saja.