Bisnis.com, JAKARTA - Perawat merupakan profesi tenaga medis terbanyak di dalam negeri. Jumlahnya masih lebih banyak, bahkan jika seluruh profesi dokter disatukan dan dikalikan dua.
Namun, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyatakan ketersediaan perawat untuk merawat pasien yang terinfeksi virus Corona atau Covid-19 masih rendah.
Walaupun sudah menerima lebih dari 3.000 perawat relawan, tetapi asosiasi menilai jumlah perawat untuk menghadapi puncak penyebaran Covid-19 yang diprediksi akan terjadi dalam 5 - 6 minggu ke depan masih jauh dari kata cukup.
"Kurang lebih 2.700-an kebutuhan perawatnya [untuk di DKI Jakarta saja]. [Belum lagi] untuk yang di daerah. Kalau eskalasi [penyebaran Covid-19] meningkat, masing-masing daerah [pasti akan] membuka rekrutmen juga," kata Ketua Umum PPNI Harif Fadillah kepada Bisnis, Selasa (14/4/2020).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2017 mencatat jumlah tenaga kesehatan di dalam negeri mencapai 1 juta orang, sedangkan perawat berkontribusi sekitar 49 persen atau 296.876 orang.
Namun demikian, rasio yang dihasilkan hanya 113,4 perawat per 100.000 penduduk. Kementerian Kesehatan menargetkan rasio tersebut dapat naik pada 2019 menjadi 180 perawat per 100.000 penduduk atau seperti yang disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Baca Juga
Dengan rasio tersebut, terdata hanya delapan provinsi yang memenuhi rasio yang disarankan WHO yakni DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, DI Aceh, Maluku, Sulawesi Utara, Bengkulu, dan Jambi.
Adapun, tiga provinsi dengan rasio perawat tertinggi ada di DKI Jakarta (221,5:100.000), Kalimantan Timur (202,9:100.000), dan Bangka Belitung (202,4:100.000). Sementara itu, provinsi dengan rasio perawat terendah adalah Lampung (48,9:100.000), Jawa Barat (68,9:100.000), dan Banten (72,1:100.000).
Harif mengatakan rumah sakit di luar DKI Jakarta saat ini sangat membutuhkan perawat yang dapat menangani pasien Covid-19. Pasalnya, pertumbuhan pasien Covid-19 di luar ibu kota pun terus meningkat.
Di sisi lain, Harif menyatakan tidak semua perawat dapat menangani pasien Covid-19. Menurutnya, perawat yang menangani pasien Covid-19 harus memiliki keahlian dalam menangani pasien di intensive care unit (ICU) maupun intensive coronary care unit (ICCU) alias bukan perawat umum.
"Ini yang jadi persoalan bila eskalasinya [penyebaran Covid-19] meningkat. Namun, sudah banyak [perawat umum] yang ikut training [singkat melayani pasien ICU maupun ICCU]. Harapan kami, walaupun banyak pasien positif, tapi tidak banyak masuk ICU," ucapnya.
Seperti diketahui, formasi perawat di dalam negeri masih didominasi oleh perawat tanpa sertifikat atau sebanyak 77,56 persen. Adapun, perawat bersertifikat hanya 10,84 persen, sedangkan perawat dengan spesialistik hanya 6,42 persen.
Dari sekitar 19.059 perawat spesialistik, hanya 4.287 yang memiliki spesialistik penyakit dalam atau medikal bedah. Oleh karena itu, Harif berujar seroang perawat dapat menangani pasien Covid-19 dengan kontak minimal setelah mengikuti empat kali pelatihan secara daring.
Harif menjelaskan perawat yang telah mengikuti 4 pelatihan secara daring itu hanya diperbantukan di rumah sakit darurat Covid-19. Selain itu, dia mengungkapkan kontak dengan pasien juga cenderung minimum lantaran pasien di rumah sakit darurat umumnya masih memiliki mobilitas yang cukup tinggi.
Di sisi lain, Harif menilai hal yang cukup mengancam posisi perawat saat ini adalah mobilitas perawat spesialis yang dapat bekerja di ICU maupun ICCU. Menurutnya, minimnya jumlah perawat spesialistik memungkinkan akan adanya perpindahan perawat dari satu daerah ke daerah lain.
Sementara itu, Harif menjelaskan pergerakan seorang perawat maksimum adalah dua rumah sakit dan tidak boleh keluar dari kabupaten tempat praktek.
"Kami di satuan tugas internal sudah membicarakan ini. Tentu kami harus rekomendasikan hal-hal terkait ini karena tidak mungkin ada perawat yang tidak tersertifikasi memberikan pelayanan spesifik," ungkapnya.