Bisnis.com, JAKARTA – Munculnya kekhawatiran masyarakat terhadap tindakan kriminal yang dilakukan oleh para narapidana yang mendapat pembebasan karena penyebaran virus corona dinilai tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Kriminolog Leopold Sudaryono menyampaikan, fenomena residivis atau orang yang pernah dihukum dan mengulangi tindak kejahatan serupa merupakan hal yang umum terjadi di seluruh dunia. Leopold memaparkan, selama 2020 angka kejahatan residivis adalah 0,05% dan menunjukkan tren penurunan.
Menurut dia, kabar-kabar yang berkembang di tengah masyarakat melalui pesan berantai di media sosial tidak merefleksikan data yang ada.
“Kalau bicara ancaman di masyarakat, angka ini kecil sekali. Kecenderungan untuk mengulangi kesalahan [residivis] itu tinggi dan kondisinya di Indonesia masih sesuai dengan kondisi global,” katanya dalam keterangan pers pada Selasa (14/4/2020).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Nugroho mengatakan, pemahaman masyarakat terkait dengan kondisi di dalam lapas atau rutan di Indonesia yang rawan penyebaran dan penularan penyakit masih minim.
Pembebasan narapidana dinilai menjadi pilihan terakhir yang harus dipahami oleh berbagai pihak untuk meminimalisir terjadinya penyebaran virus dan penyakit di dalam lapas atau rutan.
Nugroho menuturkan, kondisi yang dihadapi warga binaan seperti kelebihan penghuni atau sanitasi yang kurang memadai memunculkan rekomendasi terbaik bagi mereka untuk dirumahkan sehingga mengurangi risiko penularan yang besar.
“Sampai saat ini, 12 napi yang berulah dari sekitar 36 ribuan yang sudah dikeluarkan. Sesuai dengan instruksi Bapak Menkumham, narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan setelah bebas akan diberi sanksi berat,” katanya.
Data dari Kemenkumham menyatakan, pada 2020 telah dipetakan 40.329 warga binaan yang secara berangsur-angsur akan dikeluarkan. Direktur Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi Kemenkumham, Yuspahruddin menjelaskan, seluruh langkah yang diterapkan Ditjen Pemasyarakatan sudah berpedoman dengan apa yang dikeluarkan oleh ICRC dan WHO dalam menanggulangi COVID-19.
Restorative Justice
Sementara itu, Pakar hukum Bivitri Susanti mengatakan adanya permasalahan sistemik pada perundang-undangan dan hukum di Indonesia terkait dengan kondisi di lapas atau rutan.
Oleh karena itu, saat ini adalah momentum baik untuk mendorong perubahan dari hulu dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.
“Adanya residivis justru membuktikan bahwa untuk tindak pidana tertentu, pemidanaan atau penjara itu tidak efektif, melainkan perlu diterapkan restorative justice,” jelas Bivitri.
Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas, Prahesti Pandanwangi menambahkan, salah satu persoalan besar yang dihadapi adalah kelebihan penghuni di dalam lapas/rutan. Masalah ini, katanya, sudah terjadi sejak dulu dan belum dapat diatasi hingga saat ini.
Dia mengatakan, masalah kelebihan penghuni di lapas sesungguhnya tidak hanya menjadi tanggung jawab Ditjen Pemasyarakatan. Seluruh aparat penegak hukum (APH) lain juga perlu terlibat mengatasi masalah ini. Dia juga sependapat bahwa pendekatan restorative justice perlu dilakukan.
“Program-program yang sudah dilakukan Ditjen Pemasyarakatan sendiri sudah sangat baik, salah satunya Pokmas yang menjadi program prioritas nasional. Selebihnya mesti ditingkatkan koordinasi dan peran APH terkait lainnya untuk sama-sama bisa mengawasi dan mengatasi persoalan ini,” imbuh Hesti.
Pakar Pemasyarakatan, Ali Aranoval menambahkan bahwa sangat diperlukan komunikasi yang cepat dan serius oleh setiap APH.
“Sebaiknya dihentikan dulu masukkan tahanan ke lapas atau rutan. Jangan sampai ada dua kondisi berbeda, Kemenkumham mengeluarkan tapi APH lain terus memasukkan [tahanan],” tuturnya.