Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyarankan negara-negara bagian untuk memperlonggar pedoman jarak sosial untuk perayaan paskah 2020 di tengah kekhawatiran ancaman virus corona atau Covid-19.
Pada briefing hariannya, Trump memperingatkan warganya untuk bersiap menghadapi 'minggu terberat' di tengah pandemi virus corona. Menurutnya, akan ada kematian dalam jumlah yang menakutkan dalam beberapa hari mendatang seperti dikutip BBC.com, Minggu (5/4/2020).
Dalam pidatonya, dia berusaha meyakinkan negara-negara bagian yang paling terpukul dan menjanjikan pasokan medis dan personel militer untuk memerangi virus.
Namun berbeda dari peringatan sebelumnya, Trump menyarankan untuk memperlonggar pedoman jarak sosial untuk perayaan Paskah tahun ini.
"Kita harus membuka negara kita lagi. Kami tidak ingin melakukan ini selama berbulan-bulan," ujarnya di Gedung Putih.
Trump juga menentang anjuran bagi warganya untuk secara 'sukarela' memakai masker. Bagaimana sikap Trump terhadap virus SARS-CoV-2 itu kini telah bergeser karena tahu krisis ekonomi akan membawa krisis politik.
Baca Juga
Seruan Trump untuk melonggarkan pembatasan jarak sosial terjadi pada saat infeksi virus itu telah melampaui 300.000 atau jumlah tertinggi di dunia. Kemarin hampir 8.500 kematian akibat Covid-19 di AS yang sebagian besar ada di New York sebagai pusat penyebaran.
Sementara itu, ChannelNewsAsia.com melaporkan angka kematian per hari di New York mencapai lebih dari 630 orang dan jumah kasus lebih dari 113.000.
Sedangkan di tempat lain di dunia, ada alasan untuk optimisme karena jumlah infeksi baru dan kematian akibat wabah Covid-19 mulai berkurang secara bertahap.
Di Italia, jumlah pasien Covid-19 di unit perawatan intensif turun untuk pertama kalinya sejak wabah dimulai.
Sementara itu di Spanyol, Perdana Menteri Pedro Sánchez mengatakan negara itu "hampir melewati puncak infeksi" karena jumlah kematian akibat virus itu turun untuk hari kedua berturut-turut.
Sedangkan secara global, lebih dari 60.000 orang meninggal dan lebih dari 1,1 juta terinfeksi, menurut laporan John Hopkins Universitu di AS.