Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Social Distancing di Sejumlah Negara: Dikurung, Dipukuli, hingga Dipermalukan

Pihak berwenang di sejumlah negara menggunakan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk memperlambat penyebaran virus corona. Sebagian relatif dapat diterima, sebagian dipandang keterlaluan.
Penumpang berada di dalam kereta MRT di Jakarta, Kamis (19/3/2020). Bisnis/Arief Hermawan P
Penumpang berada di dalam kereta MRT di Jakarta, Kamis (19/3/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah negara-negara di dunia mengimbau masyarakat untuk menerapkan praktik “social distancing” ataupun “physical distancing” sebagai upaya memperlambat penyebaran virus corona (Covid-19).

Tidak banyak perbedaannya, baik social distancing maupun physical distancing pada praktiknya dilakukan dengan membatasi kontak fisik dengan orang lain. Dalam social distancing, masyarakat juga diimbau untuk menghindari pusat-pusat keramaian dan tinggal di dalam rumah.

Bicara soal social distancing, pihak berwenang di sejumlah negara ternyata menggunakan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk memperlambat penyebaran virus mematikan tersebut. Sebagian relatif dapat diterima, sebagian dipandang keterlaluan.

Di India, polisi-polisi dengan tongkat memukuli siapa pun yang melanggar batasan jam malam atau gagal mempertahankan jarak fisik. Ada pula yang terang-terangan mempermalukan para pelanggar dengan memaksa mereka melakukan push-up, merangkak, atau berguling-guling di jalanan.

Sebuah video yang memperlihatkan seorang polisi menulis "Saya telah melanggar batasan lockdown, jauhi saya" pada dahi seorang pria, menjadi viral di Negeri Hindustan. Si polisi dikatakan telah menerima ganjaran atas tindakannya itu.

Di Afrika Selatan, petugas kepolisian juga memaksa warga untuk berguling-guling di sepanjang jalan dan menendang yang lainnya usai melakukan squat untuk waktu yang lama.

Setelah memberlakukan lockdown nasional yang berlangsung selama 21 hari pada Jumat (27/3/2020), petugas polisi di Johannesburg terlihat tanpa pandang bulu menggunakan meriam air pada warga sipil dan menembakkan peluru karet di lingkungan termiskin di kota itu.

Para perwira bersenjata lengkap kemudian dikabarkan menyerbu gedung-gedung apartemen untuk memeriksa penghuninya tidak melanggar penghentian penjualan alkohol dan rokok.

Sementara itu di Filipina, polisi dan pejabat setempat telah dituduh oleh Human Rights Watch karena menangkap ratusan orang yang melanggar jam malam, aturan sosial distancing dan karantina.

Dalam beberapa kasus, pelanggar menjadi sasaran tindakan dipermalukan dan dilecehkan di depan umum sebagai hukuman atas pelanggaran mereka.

Tindakan yang dimaksud antara lain dengan menempatkan orang-orang muda di kandang anjing dan memaksa yang lainnya duduk di bawah terik matahari.

“Keadaan darurat kesehatan masyarakat saat ini bukan alasan untuk melanggar proses hukum dan hak-hak dasar masyarakat,” tulis Edgar San Luis, Wali Kota Santa Cruz, Provinsi Laguna, dalam sebuah unggahan di Facebook pada 20 Maret.

Dalam beberapa kasus, pihak otoritas telah menyerukan penyelidikan terhadap para petugas yang terlibat melakukan tindakan semena-mena.

Meski sebagian besar kasus pemolisian telah dikecam oleh pihak otoritas setempat, masih ada kekhawatiran soal hukuman keras yang dijatuhkan kepada populasi berkondisi rentan yang tidak dapat menjaga jarak sosial karena hidup di tengah lingkungan sesak.

“Pihak berwenang akan cenderung lalai untuk menggunakan cara apa pun yang sebelumnya telah secara rutin diterapkan guna menjaga ketertiban politik dan sosial,” terang Tim Huxley, direktur eksekutif di Internasional Institute for Strategic Studies di Asia.

“Dalam keadaan dimana kepatuhan massa akan diperlukan untuk periode yang berlarut-larut, bagi saya sangat kecil kemungkinan tindakan pemaksaan saja dapat berhasil,” tambahnya, seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (4/2/2020).

Menurut data yang dihimpun John Hopkins University, jumlah kasus Covid-19 kini telah menembus 861.000 kasus secara global, dan menewaskan lebih dari 42.000 orang.

Ketika beberapa negara telah menggunakan kekerasan dalam upaya untuk menerapkan social distancing, yang lain mengambil jalan berbeda.

Di negara bagian selatan Yucatan, Meksiko, orang-orang yang didiagnosis terinfeksi virus coroma atau menunjukkan gejala tertular mungkin dipaksa untuk menjalani hukuman selama tiga tahun penjara jika mereka tidak mengkarantina diri mereka sendiri, seperti dilaporkan surat kabar lokal El Financiero.

Di sisi lain, pemerintah Peru telah mengumumkan denda sebesar sekitar US$600 bagi siapa pun yang mempermainkan nomor hotline untuk kasus virus corona. Pemerintah setempat telah menemukan 74 persen telepon bernada tidak sopan atau berniat jahat, menurut surat kabar Peru 21.

Guna menangani bangkitnya angka kasus virus corona, pemerintah Hong Kong pada Selasa (31/3/2020) memperingatkan warga untuk mematuhi perintah karantina di rumah dan aturan social distancing jika tidak ingin menghadapi tuntutan pidana dan denda.

Kota ini telah menangkap lebih dari 70 orang yang melanggar perintah karantina dan mengirimkan mereka ke pusat-pusat isolasi pemerintah. Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengatakan pihak otoritas akan mengajukan tuntutan pidana terhadap mereka.

“Pemerintah memiliki pendekatan tanpa toleransi terhadap orang-orang yang melanggar karantina. Melanggar perintah karantina dapat menyebabkan denda hingga sebesar HK$25.000 (US$3.225) dan hukuman penjara hingga enam bulan, sementara perusahaan yang menolak untuk mematuhi dikenakan denda hingga sebesar HK$50.000,” ujar Lam.

Singapura juga telah menjatuhkan hukuman yang berat karena melanggar aturan social distancing. Pekan lalu, pemerintah mengumumkan bahwa mengadakan pertemuan yang diikuti lebih dari 10 orang selain untuk pekerjaan atau sekolah merupakan pelanggaran pidana.

Masyarakat juga harus menjaga jarak fisik setidaknya satu meter dalam pengaturan di mana interaksi tidak bersifat sementara, seperti antrean. Hukuman maksimal untuk kedua pelanggaran ini adalah denda sebesar S$10.000 (US$7.000) dan hukuman penjara enam bulan.

Tetapi di India-lah, contoh tindakan paling ekstrem terlihat. Negara berpopulasi 1,3 miliar orang ini memberlakukan lockdown nasional selama tiga pekan pada 24 Maret.

Awal pekan ini, pihak berwenang divideokan menyemprot sekelompok pekerja migran dengan larutan kimia yang mengandung pemutih setelah mereka kembali ke Uttar Pradesh di India utara, dalam upaya untuk mendisinfeksi mereka. Insiden itu saat ini sedang diselidiki oleh hakim distrik.

Niranjan Sahoo, dari Observer Research Foundation yang berbasis di New Delhi, mengatakan langkah-langkah drastis diperlukan di sebuah negara dengan populasi yang begitu besar. Apakah langkah tersebut akan berfungsi merupakan masalah lain.

"Menegakkan social distancing di suatu negara dengan masyarakat pedesaan yang besar dan kaum miskin kota akan hampir mustahil dilakukan," tutur Sahoo.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper