Bisnis.com, JAKARTA - Kabar duka menyelimuti keluarga Presiden Joko Widodo. Ibunda Presiden Jokowi, Sujiatmi Notomiharjo, meninggal dunia di Solo, Jawa Tengah, Rabu sekitar pukul 16.45 WIB.
Belum diketahui apa pesan terakhir almarhumah kepada anak-anaknya. Namun, seperti dikutip Majalah Pendidikan Keluarga edisi 4 Tahun I Desember 2016 ada pesan Sujiatmi saat mendidik anak-anaknya.
“Ojo milik punya orang lain yang bukan hakmu. Dari kecil, anak-anak saya didik: yang bukan hakmu jangan kamu ambil. Jangan seneng punya orang lain,” begitu kutipan wawancara majalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut dengan Sujiatmi Notomiharjo.
Wawancara yang berlangsung pada awal November 2016 itu secara lengkap dapat ditelusuri di laman sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id.
Menurut Sujiatmi, kejujuran dan ojo milik (tidak tergiur memiliki) menjadi yang utama yang ditekankan dia dan almarhum suaminya, Notomiharjo, kepada anak-anak.
Pasangan Sujiatmi dan Notomiharjo dikarunia 4 anak, mereka adalah Jokowi (sulung) dan tiga adik perempuan Jokowi yakni Iit Sriyantini, Idayati, dan Titik Ritawati.
Terkait karir yang diraih Jokowi, sang sulung, Sujiatmi selalu berpesan untuk selalu amanah. “Saya cuma mengingatkan saja. Kamu bukan hanya milik keluarga, sekarang sudah punya bangsa Indonesia,” katanya.
“Sepuluh tahun kok naik pangkat tiga kali. Kamu harus bersyukur jangan menggak-menggok (belak belok), lurus saja. Jangan aneh-aneh diberi amanah sama rakyat, sama Allah. Dijalankan dengan baik,” begitu pesan Sujatmi kepada Jokowi.
Ibu yang Tegas
Dalam keseharian, Sujiatmi tampil sebagai ibu yang tegas. Hal itu tergambar dari pengakuannya dalam wawancara dengan Majalah Pendidikan Keluarga.
“Saya dibilang anak-anak keras. Prinsipnya, kalau sudah tidak boleh ya tidak boleh. Misalnya ada yang ngapel ke rumah. Kalau sudah tidak boleh, ya ditaati. Dulu, waktu mereka masih anak-anak bilang ibu keras banget, Bapak tidak pernah memarahi. Saya bilang, kalau tidak ada yang memarai, malah teledor. Saya keras. Ibu galak, untuk kebaikan kamu, kalian merasakan kalau sudah punya anak. Saat itu belum tahu faedah dan manfaatnya,” ujar Sujiatmi.
Selain membesarkan anak, Sujiatmi membantu suaminya berdagang kayu. “Saya hanya membantu suami. Suami mencari glondong (kayu), saya di perusahaan. Kakak saya, usaha kayunya jauh lebih besar. Bagi saya yang penting cukup untuk sekolah anak-anak, tidak harus kaya raya,” katanya .
Sujiatmi kecil lahir dari keluarga pedagang kayu di Dusun Gumukrejo, Desa Giriroto, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali. Sujiatmi adalah perempuan satu-satunya, dari tiga bersaudara putra pasangan Wirorejo dan Sani. Sujiatmi lahir pada 15 Februari 1943.
Menjadi satu-satunya anak perempuan, tak berarti Sujiatmi kecil mendapat perlakukan khusus dari kedua orangtuanya. Semua anak diperlakukan sama. Seperti kakak lelakinya yang bersekolah di SD Kismoyo, sekitar 5 kilometer dari rumah, Sujiatmi juga sekolah di sana.
Di sekolah, lagi-lagi Sujiatmi menjadi satu-satunya perempuan. Sujiatmi kecil adalah satu-satunya siswa perempuan di kelas.
Sehari-hari Sujiatmi berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, walau tak jarang juga bersepeda.
"Sujiatmi tidak ingat apakah ia bersekolah dengan bersepatu dan berseragam," tulis Majalah Pendidikan Keluarga mengutip buku Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi (2014), karya Kristin Samah dan Fransisca Ria Susanti.
“Yang ia ingat, rambut hitamnya selalu dikepang dua oleh ibunya. Pelajaran berhitung adalah yang paling ia sukai. Ia selalu merindukan kehadiran gurunya. Ia berusaha menjadi yang pertama mengacungkan jarinya untuk mengerjakan soal-soal hitungan di depan kelas. Kelak, kemampuan berhitung ini menjadi kelebihan Sujiatmi dalam membantu suaminya membangun usaha. Sang suami, Widjiatno, adalah kawan sepermainan Mulyono, kakak Sujiatmi, yang tiga tahun lebih tua darinya. Ketika bertemu dengannya, Widjiatno di bangku SMA, sementara ia di SMP. Widjiatno, yang ketika dewasa mengubah nama menjadi Notomiharjo, adalah pemuda yang berparas halus dan bertubuh gagah,” lanjut Majalah tersebut.
“Pak Noto itu ganteng sekali,” begitu Sujiatmi menggambarkan suaminya.
Notomioharjo
Notomiharjo muda tinggal bersama kakek-neneknya di Dusun Klelesan, masih tetangga Gumukrejo. Orangtua Notomiharjo tinggal di Desa Kranggan, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, sekitar 25 km dari Boyolali.
Keluarga besar Notomiharjo adalah Lurah Desa Kranggan. Bapaknya, pakdenya, juga kakeknya pernah memimpin Desa Kranggan.
Sujiatmi dan Widjiatno alias Notomiharjo menikah di usia muda, pada 23 Agustus 1959. Kala itu Sujiatmi berusia 16 tahun, sedangkan Widjiatno berumur 19. Keduanya belum lulus sekolah.
Di masa itu, wanita berusia 16 tahun sudah jamak menikah. Banyak pula, kawan-kawan Sujiatmi yang lebih belia sudah menikah lebih dulu.
Sujiatmi dan Widjiatno muda sudah dilibatkan dalam usaha kayu ayahnya. Ketika itu, ayahnya sudah membuka usaha di Srambatan, Solo. Setiap pekan, ayahnya bolak-balik Boyolali-Solo, yang berjarak 30- an km.
Kakak Sujiatmi, Mulyono, sudah lebih dulu bekerja membantu ayahnya.
Ketika usahanya berkembang, dan ayahnya sudah mampu membangun rumah di Solo, seluruh keluarga pun boyongan ke Solo.
Sejak itu pula, Sujiatmi dan Widjiatno menekuni usaha kayu. Mulyono dan Sujiatmi pun putus sekolah. Kelak Mulyono meneruskan bisnis keluarga itu dengan bendera Roda Jati hingga sekarang.
Berbeda dengan Mulyono dan Sujiatmi, adiknya, Setiawan Prasetyo tetap melanjutkan sekolah hingga meraih sarjana Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang. Setiawan hingga pensiun bekerja di perusahaan BUMN, Wijaya Karya.
Dalam benak Sujiatmi, ia berketetapan harus menyekolahkan anak-anaknya hingga pendidikan tinggi. “Saya sudah ndak lulus, jadi anak saya semua harus lulus perguruan tinggi. Meskipun mereka nantinya jadi pedagang atau apa pun, tetap harus lulus dulu, karena orangtuanya dua-duanya ndak lulus,” kata Sujiatmi.
Di masa tuanya, Sujiatmi pernah merasa menyesal mengapa tidak meneruskan sekolahnya.“Padahal orangtua mampu sekolahin saya . Mungkin karena saya jatuh cinta duluan,” katanya.
Pengambil Keputusan
Sifat Notomiharjo yang pemalu dan pendiam menjadikan Sujiatmi harus mampu memutuskan cepat,baik dalam mengelola bisnis kayu juga urusan rumah tangga. “Pak Noto itu pendiam. Manut saya saja. Kalau ditanya manut saja,” kata Sujiatmi.
Sujiatmi akhirnya memang lebih banyak yang mengarahkan dan mendidik Jokowi, dan ketiga adiknya. Pak Noto juga tidak pernah membela anak-anaknya saat berhadapan dengan keputusan, arahan, dan larangan Sujiatmi. Jokowi dan adik-adiknya pun amat patuh terhadap ibundanya.
Sujiatmi dan Noto juga menunjukkan sikap pekerja keras. Betapa pun sulitnya dalam berusaha, mereka tak pernah berkeluh kesah di depan anak-anak.
Ketika anak-anak menghadapi masalah, Sujiatmi juga berusaha tidak menyalahkan anak-anak ketika ada kesalahan dan menghadapi persoalan. “Saya ndak pernah nutuh (menyalahkan). Orang yang sedang menghadapi persoalan itu sudah susah. Kalau kita nutuh, itu bikin ia makin susah,” kata Sujiatmi.
Disiplin, juga merupakan hal utama yang diajarkan Sujiatmi kepada anak-anaknya.Rukun dan saling membantu adalah kunci Sujiatmi menyatukan keempat anaknya dalam satu ikatan persaudaraan yang kuat. Anak yang berkecukupan harus membantu saudaranya.
Sujiatmi juga mengajarkan anak-anaknya banyak bersyukur agar mengenal kata cukup.
“Harta itu titipan. Jangan dianggap kalau kita punya harta itu punya kita sendiri. Harta itu titipan Gusti Allah. Saya itu nggak patiyo (tidak terlalu) mikir harta. Anak-anak saya biar nanti cari sendiri, sudah dikasih rezeki sendiri. Orang hidup itu kalau sudah cukup ya sudah. Jangan serakah-serakah, cukup saja,” katanya.
Kesabaran dan dukungan penuh Sujiatmi kepada empat anaknya menjadi pegangan mereka.
Kini, Sujiatmi sudah kembali kepada Sang Kuasa. Semoga almarhumah dipersatukan kembali dengan suaminya, yang digambarkan Sujiatmi sebagai pria yang ganteng.