Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo telah menegaskan agar data pasien terinfeksi virus corona (covid-19) tidak boleh tersebar di media maupun media sosial. Namun, lokasi dan waktu penyebaran masih relevan untuk disebutkan dalam menangani penyebaran wabah.
Pengurus Pusat Bidang Politik Kesehatan, Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Syahrizal Syarif menyatakan, sangat menyesalkan tersebarnya identitas dua pasien terinfeksi virus corona itu.
Dia menjelaskan, penyebaran secara liar informasi diri dan data pribadi pasien dari oknum dalam jajaran pemerintahan merupakan bentuk tindakan yang tidak peka pada kondisi pasien.
“Saya kira ini jadi pelajaran, tidak boleh lagi. Prinsip dasar seharusnya informasi yang tersebar jangan mengarah pada stigma atau mengganggu privasi, tidak boleh ada pengucapan nama,” jelas Syahrizal, Senin (3/3/2020).
Meski demikian, dalam dunia kesehatan ada dua aspek informasi yang perlu dibuka ke publik dalam rangka mencegah penyebaran wabah. Dia menjelaskan, dua informasi yang perlu disebarkan adalah wilayah atau tempat penyebaran dan kedua adalah waktu penyebaran.
Menurut Syahrul dua aspek informasi itu membantu pemerintah bersama masyarakat mengatasi potensi penyebaran wabah. Sehingga upaya preventif dan mencegah penyebaran bisa dilakukan lebih cepat dan tepat.
Baca Juga
“Oleh sebab itu perlu ada kolaborasi lintas sektor di pusat sampai daerah. Serta kolaborasi secara maksimal mengajak pusat penelitian dan universitas,” tuturnya.
Bisnis mencatat, sejumlah kanal media sosial sejenis Whats App (WA), Twitter, dan Instagram adalah tiga medium yang paling ramai dalam menyebarluaskan kabar perihal dua pasien positif corona. Sejumlah WA Grup bahkan menyebarkan nama lengkap hingga foto pasien.
Menurut Komisioner Komisi Informasi Pusat, Arif A. Kuswardono, tersebarnya identitas penderita, alamat rumah, hingga daftar anggota keluarga dan tempat kerja membuktikan pentingnya pelarangan dan penertiban sesuai Undang-Udang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Arif menjelaskan, sesuai Pasal 17, huruf h dan I, informasi pribadi dikecualikan apabila terkait dengan riwayat, kondisi anggota keluarga, perawatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang. Pengungkapan identitas pasien yang positif terpapar virus corona secara terbuka, menurut Arif, adalah pelanggaran hak-hak pribadi.
“Informasi pribadi hanya bisa diungkap atas izin yang bersangkutan, atau jika terkait pengisian jabatan publik. Alasan terakhir tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam kasus ini,” tuturnya.
Oleh karena itu, publik dan petugas diimbau agar menghormati hal tersebut dan tidak membagi, menyebarkan atau melakukan share informasi pribadi pasien yang bersangkutan di media sosial atau tempat lain. Perlindungan atas identitas pribadi ini menurut Arif dijamin pula dalam Pasal 28 UUD 1945.
“Prinsip yang sama berlaku terhadap identitas pribadi WNI yang kini menjalani karantina,” tegasnya.