Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk tidak memulangkan 689 simpatisan ISIS asal Indonesia ke Tanah Air. Meski begitu, pemantauan terhadap foreign terrorist fighters atau para teroris lintas batas tetap diperlukan.
Analis Intelijen dan Terorisme Stanislaus Riyanta mengatakan sifat pergerakan para mantan simpatisan ISIS tersebut adalah lintas negara. Sehingga pemantauan untuk mereka dianggap perlu.
“Terbukti ada pasangan suami istri anggota ISIS dari Indonesia yang pernah di Suriah akhirnya menjadi pelaku bom bunuh diri di Filipina,” katanya kepada Bisnis, Rabu (12/2/2020).
Di samping itu, dia mencatat FTF eks-ISIS dari negara lain juga pernah masuk ke Indonesia beberapa tahun lalu. Mereka kemudian ditangkap oleh aparat di Bekasi, Jawa Barat.
Dari beberapa pengalaman tersebut, pemerintah dinilai perlu mengantisipasi masuknya orang Indonesia eks-ISIS masuk kembali ke Tanah Air. Kondisi itu dinilai akan membahayakan masyarakat di dalam negeri.
Stanislaus menuturkan, langkah ini juga harus dibarengi dengan data yang akurat untuk mendeteksi pergerakan orang-orang asal Indonesia yang pernah bergabung dengan ISIS tersebut. Di sisi lain, pemerintah dapat melakukan komunikasi dengan otoritas Suriah untuk mendata para FTF.
Baca Juga
“Soal dampak hubungan Indonesia dengan Suriah, para pengungsi ISIS dibawah otoritas Kurdi, justru kalau pemerintah Indonesia langsung berhubungan dengan otoritas Kurdi akan menganggu hubungan diplomatik dengan pemerintah resmi Suriah,” terangnya.
Sebelumnya, pemerintah sempat merancang dua skema pemulangan orang Indonesia eks-ISIS di Suriah dan Turki. Dua skema tersebut yaitu memulangkan dan tidak memulangkan. Draf itu rencananya akan disampaikan ke Presiden pada Mei - Juni 2020.
Menko Polhukam Mahfud MD menyebut skema itu dibuat oleh sejumlah kementerian lembaga yang dipimpin oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Akan tetapi, saat rapat terbatas di Istana Bogor, Selasa (11/2/2020), Mahfud menyebut pemerintah tidak akan memulangkan orang-orang asal Indonesia itu.